KRISIS MONETER 1998

Kenangan Fuad Bawazier hingga Boediono Saat Krisis Moneter

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Jumat, 18 Mei 2018 13:16 WIB
Dua mantan menteri keuangan menceritakan ekonomi Indonesia saat krisis moneter 1998. Salah satunya, soal posisi eksekutif yang lebih kuat daripada legislatif.
Mantan menteri keuangan Boediono (kiri) menyatakan Indonesia butuh bertahun-tahun untuk bisa pulih dari krisis ekonomi 1998. (AFP PHOTO / ANASTASIA VRACHNOS)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Menteri Keuangan medio 1998 Fuad Bawazier mungkin saja terus ingat tentang kondisi ekonomi saat krisis 20 tahun silam. Salah satunya adalah soal defisit APBN 1998 hingga Rp16,19 triliun-dari sebelumnya surplus Rp3,62 triliun.

Indonesia memang jadi salah satu negara yang terkena dampak krisis moneter di Asia.

Fuad sendiri hanya menjabat sebagai menteri pada Maret hingga Mei 1998.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, Fuad mengatakan saat itu mitigasi pemerintah terbilang cukup cepat. Melakukan pengetatan, namun menempuh kebijakan yang ekspansif demi menjaga pertumbuhan ekonomi.


Berkaca pada APBN 1998-1999, saat itu pemerintah menganggarkan belanja Rp147,22 triliun atau bertambah tipis dari tahun sebelumnya Rp131,53 triliun.

"Mitigasinya saat itu kami langsung melakukan pengetatan, meski ujung-ujungnya ya kebablasan juga," terang Fuad kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Dia menganggap likuiditas APBN saat itu masih bagus karena penerimaan juga terbilang moncer.

Kala itu, lanjutnya, rasio pajak terhadap PDB tercatat 13 persen, sehingga pemerintah masih bisa menggantungkan harapanannya pada penerimaan pajak.


Di dalam APBN 1998-1999 juga tercatat bahwa penerimaan pajak dipatok Rp66,04 triliun atau tumbuh dibanding tahun sebelumnya Rp64,06 triliun. Tak hanya itu, penerimaan sektor migas juga tercatat Rp34,58 triliun.

"Jadi bisa dibilang, dulu keuangan negara sebetulnya tidak ada masalah. Artinya, likuiditas APBN masih baik, pendapatan membaik. Tax ratio dulu bisa menembus 13 persen, kalau sekarang kan hanya 10 persen saja," tambah Fuad.

Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier  (AFP PHOTO / AGUS LOLONG)

Ia mengatakan cepatnya kebijakan anggaran dalam memitigasi krisis ini adalah posisi eksekutif yang 'lebih kuat' dibandingkan dengan legislatif. Sehingga, segala keputusan tidak perlu melalui jalur berbelit-belit.

"Kalau sekarang ini kan demokratis, semuanya bersuara. Sangat beda dengan dulu," ujarnya.

Masih kuatnya keuangan negara kala itu, imbuh Fuad, juga tak lepas dari struktur pembiayaan APBN. Pembiayaan masih bersifat multilateral dan belum menerbitkan instrumen Surat Berharga Negara (SBN).


Sehingga, pemerintah bisa menolong pihak swasta yang saat itu tengah sakit parah karena utangnya membengkak lantaran depresiasi rupiah.

Hanya saja, Indonesia tak kunjung membaik usai Fuad meninggalkan kursi Menteri Keuangan. Pada 1999, rasio utang terhadap PDB mencapai 85 persen dan naik menjadi 87,4 persen pada 2000.

Namun, pertumbuhan ekonomi tumbuh dari 0,79 persen pada 1999 menjadi 4,92 persen pada 2000.

Kenangan Fuad Bawazier hingga Boediono Saat Krisis MoneterSetelah diluluhlantakkan oleh krisis moneter 1998, Indonesia perlahan bangkit dan memperbaiki perekonomian. (Foto: CNN Indonesia/ Hesti Rika)


Cerita Boediono

Seusai peluncuran satu buku soal ekonomi di Bank Indonesia pada Maret lalu, mantan Menteri Keuangan tahun 2001-2004 Boediono berkisah bahwa Indonesia butuh bertahun-tahun untuk pulih dari krisis ekonomi 1998.

Dia menilai kondisi krisis ekonomi semakin parah setelah muncul keinginan masyarakat untuk menggulingkan Presiden Soeharto. Plus ada kemarau panjang akibat El Nino sepanjang 1997.

Dengan kata lain, Indonesia sempat mengalami komplikasi yang amat parah. "Ini bikin Indonesia terpuruk selama enam tahun," jelasnya kala itu.


Tak hanya itu. Krisis juga diperbesar dengan tanggungan utang dari International Monetary Fund (IMF) sebesar US$9,1 miliar yang bikin pelaku pasar khawatir dengan kemampuan APBN Indonesia.

Namun, bukannya menyelesaikan masalah, IMF justru disebutnya juga bingung dalam menghadapi drama krisis ekonomi Indonesia.

Kala itu, lanjut Boediono, krisis disebabkan oleh kerusakan neraca modal yang memang berasal dari sistem keuangan Thailand yang ambrol. Hanya saja, Indonesia adalah negara yang mengalami dampak paling parah.
Boediono menyebut Indonesia mengalami dampak krisis paling parah ketika terjadi krisis finansial Asia pada 1998 silam. Boediono menyebut Indonesia mengalami dampak krisis paling parah ketika terjadi krisis finansial Asia pada 1998 silam. (REUTERS)
Kepercayaan Investor

Sehingga, Indonesia harus mati-matian mempercantik APBN demi meningkatkan kepercayaan investor.

Sayangnya, kala itu belum ada standar tertentu dalam menentukan posisi kesehatan keuangan negara untuk bisa menarik minat investor. Utamanya, mengenai standar kesehatan utang yang wajar dan tidak wajar.

Akhirnya, DPR pun menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa defisit anggaran harus berada di angka maksimal 3 persen dan jumlah pinjaman dibatasi sebesar 60 persen dari PDB.


Rentetan peristiwa yang telah menerpa Indonesia, kata Boediono, seharusnya bisa menjadi pelajaran yang cukup dalam menghadapi kejadian di kemudian hari.

"Ini kembali kepada pentingnya kami belajar dari sejarah. Bahkan Indonesia juga perlu belajar sejarah dari pengalaman negara lain yang dianggap sukses," kata dia. (asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER