Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom Boediono mengaku tak percaya dengan siklus krisis keuangan yang berulang setiap 10 tahun di Indonesia, seperti yang terjadi pada 1998 dan 2008.
Wakil Presiden Indonesia Periode 2009-2014 itu menilai krisis keuangan merupakan fenomena yang memiliki tolak ukur dan indikator yang jelas, sehingga tak bisa hanya dihubungkan dengan siklus waktu tertentu.
"Kalau krisis keuangan 10 tahunan, saya tidak percaya, tapi kalau 2018 terjadi krisis, itu bukan karena 10 tahunan. Itu karena perilaku manusia, bukan perilaku alam," ujar Boediono di Gedung Bank Indonesia (BI), Rabu (28/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayangnya, ia tak memberi pandangan terkait potensi terjadinya krisis keuangan di Indonesia tahun ini. Pun jika terjadi krisis, risiko yang datang lebih bersifat sistemik. Artinya, pengaruh krisis muncul dari satu atau dua gangguan yang kemudian menular ke seluruh sistem keuangan.
"Barangkali kalau terjadi risk (risiko krisis), perhatikan sistemik. Karena begitu dilepas, itu seperti kreasi berantai, tidak bisa dihentikan lagi. Karena masalahnya psikologis," terangnya.
Menurut mantan gubernur BI itu, salah satu risiko krisis bisa muncul dari kemajuan digitalisasi. Pasalnya, digitalisasi tak hanya memungkinkan pembagian informasi atau data, namun persebarannya dapat terjadi dengan sangat cepat.
"Misalnya, karena sosial media sekarang luar biasa. Makanya masalah sosial media juga akan mempengaruhi kebijakan dari bank sentral kita (BI)," katanya.
Untuk itu, para pemangku kebijakan di sektor keuangan, mulai dari pemerintah melalui Kementerian Keuangan, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) diimbau perlu melihat risiko sistemik tersebut.
Belajar dari PengalamanMeski tak percaya dengan bayang-bayang siklus krisis keuangan setiap 10 tahun, Boediono menyarankan agar kekhawatiran krisis tersebut membuat banyak pihak rajin melihat masa lalu, khususnya penanganan krisis yang pernah melanda Indonesia.
Seperti halnya krisis 1960 yang terjadi karena kebijakan yang salah dari pemerintah karena membiayai suatu proyek yang ternyata tak aman sumber pembiayaannya. "Ini krisis yang our making (dibuat sendiri). Akhirnya inflasi tinggi PDB turun," jelasnya.
Selanjutnya, krisis 1980 karena terkena imbas dari anjloknya harga minyak mentah dunia hingga ke kisaran US$10 per barel. Padahal, Indonesia kala itu sangat bergantung pada komoditas mentah, terutama minyak. Walhasil, terjadi krisis, meski bukan dibuat sendiri oleh pemerintah.
Kemudian, krisis 1998 yang sentimennya berasal dari beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, seperti Thailand. Namun, diperparah dengan terjadinya masalah politik di dalam negeri karena masyarakat menuntut reformasi.
"Ini membuat Indonesia terpuruk selama enam tahun. Waktu itu Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia turun jadi minus 13 persen pada 1998, baru kemudian bisa merangkak naik hingga sekitar 4 persen pada 2004," katanya.
Terakhir, krisis global 2008 yang skalanya disebutnya lebih besar dari 1998. Krisis ini bermula dari krisis keuangan di kawasan Asia. Menurutnya, krisis ini terjadi lantaran kekuatan ekonomi belum 100 persen pulih.
"Dengan semua krisis itu, alhamdulillah bisa belajar dari sebelumnya. Jadi jangan sampai sistemik krisis ini terjadi dalam waktu yang lama, itu akan merusak segaalanya," pungkasnya.
(lav/bir)