Jakarta, CNN Indonesia --
Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih akan menaikkan
bunga acuannya di tahun ini sebesar 25 bps guna menahan laju
pelemahan rupiah akibat menguatnya dolar Amerika Serikat (AS).
"Kami percaya bahwa secara total, BI akan menaikkan bunga acuannya sebesar 50 bps pada 2018, yang artinya masih akan ada kenaikan lanjutan dari suku bunga acuan BI," ujar Kepala Ekonom PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Winang Buduyo dalam Economic Update yang dirilis Selasa (22/5).
Winang menjelaskan nilai tukar rupiah sejak awal tahun hingga pertengahan Mei melemah 3,19 persen. Namun, pelemahan atau depresiasi tersebut bukan yang terburuk dibanding negara berkembang. Depresiasi rupiah masih lebih rendah dari peso Filipina, rupee India, Lira Turki, dan real Brasil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, menurut dia, masalah muncil ketika investor global masih menganggap Indonesia sebagai bagian dari lima negara berkembang dengan perekonomian yang rapuh
(Fragile-5 countries) seperti kondisi saat
taper tantrum 2013.
Taper tantrum adalah masa di mana Amerika Serikat memutuskan untuk menghentikan kebijakan pelonggaran moneter melalui pencetakan uang dan suku bunga rendah. Periode ini membuat nilai tukar dolar AS menguat pada hampir seluruh mata uang negara lain.
Selain Indonesia, negara yang termasuk dalam kelompok tersebut adalah Afrika Selatan, Brasil, India, Indonesia, dan Turki. Ketika itu, Indonesia memang pantas masuk dalam kelompok tersebut karena memiliki defisit transaksi berjalan
(Current Account Defisit/CAD) di kisaran 4,4 persen terhadap PDB dan inflasi sebesar 7 persen karena pemerintah menaikkan harga BBM.
Namun, kondisi makroekonomi Indonesia, menurut dia, saat ini berbeda. Saat ini, menurut Winang, CAD berada di kisaran 2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), inflasi juga terkendali di bawah 4 persen. Selain itu, pemerintah juga tak berencana menaikkan harga BBM dan tarif listrik hingga 2019 mendatang.
Kendati demikian, ia menilai kenaikan suku bunga acuan tetap perlu dilakukan sebagai langkah taktis untuk memberi sinyal pada investor asing.
"Saat ini muncul ekspektasi yang tidak rasional yang tidak didorong oleh motif ekonomi dan perilaku rasional, namun hanya bertujuan mengurangi risiko. Karena itulah sinyal positif diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan atas kondisi ekonomi Indonesia," jelas dia.
(agi)