Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPR
Fadli Zon mengkritik kebijakan harga
Bahan Bakar Minyak (BBM) ala Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Ia menilai kebijakan pengaturan harga tidak memiliki pola alias serabutan, menyusul kenaikan harga BBM nonsubsidi per 1 Juli.
Diketahui,
PT Pertamina (Persero) menaikkan harga BBM nonsubsidi di kisaran Rp600 - Rp900 per liter. Antara lain, untuk Pertamax menjadi Rp9.500 per liter, Dexlite menjadi Rp900 per liter.
Dalam catatan Fadli, yang diunggah melalui akun Twitter resminya, Rabu (4/7), kenaikan harga BBM terjadi ke-lima kalinya dalam enam bulan terakhir. Kenaikan itu, dia nilai tidak memiliki pola karena diserahkan kembali ke pasar yang saat ini menunjukkan tren naik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi, sekali lagi kebijakan pemerintah terkait BBM ini tak jelas, tak konsisten, dan tak terencana dengan baik. Tak ada ucapan pemerintah yang bisa dipegang oleh kita hari ini," tulis Fadli Zon.
Ia menuturkan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 telah mengamputasi fungsi kontrol DPR terhadap kebijakan harga BBM. Persetujuan DPR dibutuhkan ketika harga BBM subsidi jenis Premium akan ditetapkan. Namun, jenis lainnya diputuskan sepihak oleh pemerintah.
Bahkan, penetapan harga BBM nonsubsidi diserahkan langsung ke Pertamina, seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 34 Tahun 2018 yang menyebut bahwa badan usaha tak perlu mendapat persetujuan dari pemerintah untuk menentukan harga BBM kategori umum.
Padahal, merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU/1/2003, yang membatalkan Pasal 28 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, penetapan harga BBM tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar.
"Biang masalahnya adalah Perpres 191/2014 tadi. Sesudah Perpres itu lahir, seolah-olah yang disebut BBM hanya tinggal minyak tanah, Premium, dan Solar saja. Sementara, Pertamax, Pertamax Turbo, Pertalite, Dexlite, bukan lagi dianggap BBM. Persepsi itu tentu saja keliru," imbuh Fadli.
Ia menuding kebijakan harga BBM yang tak berpola ini menjadi penyebab distribusi Premium dibatasi dan dibuat langka, khususnya di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Bukan hanya itu, pemerintah juga mewacanakan menghapus Premium dan menyulih menjadi Pertalie.
"Anehnya, menjelang mudik kemarin, aturan pembatasan distribusi Premium diubah lagi oleh Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018. Kini, SPBU di Jamali boleh kembali menjual Premium. Jadi, sekali lagi kebijakan pemerintah terkait BBM ini tak jelas," terang Fadli.
Pertamina beralasan kenaikan BBM jenis Pertamax didorong tren kenaikan harga minyak mentah dunia. Pasalnya, VP Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito bilang harga minyak dunia berkontribusi hingga 90 persen sebagai pembentuk harga Pertamax.
Selain itu, penyesuaian juga dilakukan atas dasar pelemahan nilai tukar rupiah. "Penyesuaian karena harga minyak naik dan kurs (nilai tukar) yang berubah. Harga minyak saja komponennya membentuk 90 persen dari harga BBM," imbuh Adiatma.
Sementara, Kementerian ESDM membenarkan keputusan Pertamina menaikkan harga BBM nonsubsidi seri Pertamax tidak perlu mendapatkan persetujuan pemerintah. "Sesuai peraturan, perseroan hanya perlu melaporkan saja," kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Djoko Siswanto.
(bir)