Jakarta, CNN Indonesia -- Laporan terbaru Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (
OECD) menunjukkan sebanyak 61,7 persen penduduk negara-negara anggotanya yang berusia 15-74 tahun memiliki pekerjaan pada akhir tahun ini. Ini pertama kalinya sejak krisis keuangan, mayoritas penduduk memiliki pekerjaan.
Menurut OECD, perbaikan terutama terjadi pada kelompok penduduk yang selama ini kurang beruntung, seperti pekerja yang lebih tua, ibu dengan anak kecil, pemuda, dan imigran. Tingkat pengangguran berada di bawah atau hampir mendekati level sebelum krisis di sebagian besar negara anggota OECD.
Kesempatan kerja mencapai rekor tertinggi di Jepang, kawasan Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Tingkat pengangguran di negara-negara OECD diprediksi terus turun, mencapai 5,3 persen pada akhir 2018 dan 5,1 persen pada tahun berikutnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian,
kemiskinan diperkirakan masih terus tumbuh di antara penduduk usia produktif yang mencapai 10,6 persen pada 2015, naik dibanding satu dekade sebelumnya sebesar 9,6 persen.
Hal ini seiring pertumbuhan upah yang lebih lambat dibandingkan saat sebelum krisis keuangan dunia. Pada akhir 2017, pertumbuhan upah di sejumlah negara anggota OECD hanya setengah dari pertumbuhan yang terjadi pada satu dekade sebelumnya.
Pada kuartal kedua 2007 silam, ketika rata-rata tingkat pengangguran negara-negara OECD hampir sama dengan saat ini, rata-rata pertumbuhan upah nominalnya mencapai 5,8 persen. Ini lebih rendah dibanding kuartal empat 2018 sebesar 5,8 persen.
Stagnansi upah, terutama terjadi pada pekerja bergaji rendah. Sedangkan, satu persen penerima gaji tertinggi mengalami kenaikan upah yang jauh lebih cepat. Hal ini pun dinilai OECD menimbulkan kekhawatiran.
"Tren dari pertumbuhan ini menunjukkan naiknya angka ketenagakerjaan dengan perubahan struktur pada ekonomi kami setelah krisis global. Ini memperlihatkan kebutuhan mendesak bagi negara-negara untuk membantu pekerja, terutama yang berketrampilan lebih rendah," ujar Sekretaris Jenderal OECD Angel Guria dalam keterangan resmi, dikutip Kamis (5/7)
Guria menjelaskan inflasi yang rendah dan perlambatan produktivitas besar telah menyebabkan stagnasi upah, serta kenaikan kesempatan kerja dengan gaji rendah.
Laporan OECD tersebut mencatat perburukan signifikan dalam pendapatan rata-rata pekerja paruh waktu dibandingkan dengan pekerja penuh waktu. Menurunnya cakupan tunjangan pengangguran di banyak negara dan bertahannya pengangguran jangka panjang juga dapat berkontribusi.
Kurang dari sepertiga pencari kerja menerima tunjangan pengangguran rata-rata di seluruh OECD, dan tren penurunan cakupan manfaat jangka panjang terus berlanjut di banyak negara sejak krisis.
Untuk itu, OECD menyarankan negara-negara anggotanya harus mengembangkan sistem pendidikan dan pelatihan berkualitas tinggi yang memberikan kesempatan belajar di sepanjang perjalanan hidup, kata OECD. Menurut OECD, bukti menunjukkan bahwa pekerja yang berketerampilan rendah memiliki kemungkinan tiga kali lebih kecil untuk menerima pelatihan daripada pekerja berketerampilan tinggi.
OECD merupakan organisasi internasional untuk pembangunan ekonomi. Saat ini, OECD memiliki 35 anggota, terdiri dari sejumlah negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia.
(agi/bir)