Rupiah Melemah, Siapa Untung Siapa Buntung

Lavinda | CNN Indonesia
Jumat, 13 Jul 2018 11:03 WIB
Tumbangnya rupiah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) yang tengah perkasa memberi efek bervariasi bagi sejumlah pihak.
Tumbangnya rupiah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) yang tengah perkasa memberi efek bervariasi bagi sejumlah pihak. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia -- Tumbangnya rupiah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) yang tengah perkasa memberi efek bervariasi bagi sejumlah pihak.

Pemerintah mengaku diuntungkan dari pelemahan rupiah, karena Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terdongkrak penerimaan minyak mentah dalam kurs dolar AS. Di sisi lain, pelaku usaha panik dengan beban produksi yang menggelembung karena pelemahan rupiah membuat harga bahan baku impor melonjak.

Lalu, bagaimana nasib masyarakat dalam kehidupan sehari-hari seiring pelemahan rupiah dalam beberapa waktu terakhir ?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Mega Novita (23 tahun), salah seorang konsumen barang impor, mengaku kecewa dengan rontoknya rupiah dalam beberapa bulan terakhir. Pasalnya, ia otomatis harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli barang asal luar negeri yang dipatok dalam kurs dolar AS.

Namun, karyawan swasta sebuah perusahaan periklanan di Jakarta itu mengaku terpaksa membeli barang impor karena barang yang dibutuhkan memang hanya ada di luar negeri, sehingga mau tak mau harus dibeli. Misalnya saja, buku hasil karya penulis asing yang belum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Amati saja, situs jual beli daring (online) yang menjual barang impor ebay.blanja.com, juga menerapkan harga barang yang sedikit lebih tinggi karena menyesuaikan nilai tukar rupiah. Perusahaan patungan antara e-commerce asal AS Ebay dan entitas usaha PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk itu menjual barang impor dengan nominal domestik.


Impor Buying Manager ebay.blanja.com Amirul Nugrahadi mengungkapkan pelemahan rupiah memang membuat harga barang meningkat. Meski demikian, peningkatannya tak signifikan, yaitu kurang dari 10 persen.

"Kalau dilihat logikanya, harga naik, order (pesanan) harusnya turun, tapi kalau dilihat tren (pembeli) cenderung stabil. Bahkan, ada sedikit kenaikan pekan ini dibandingkan tahun lalu," katanya kepada CNNIndonesia, Kamis (12/7).

Ia menilai jumlah konsumen tak menurun meski harga barang meningkat, karena barang yang tersedia berkategori eksklusif dan menjadi kebutuhan konsumen yang tak bisa dipenuhi dari dalam negeri.

Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengamini pernyataan Nugraha. Menurut dia, barang impor ritel membanjir di pasar domestik karena industri dalam negeri tak mampu memenuhi kebutuhan tersebut.


Industri manufaktur misalnya, deras mengimpor bahan baku atau barang modal industri karena tak bisa diperoleh di dalam negeri. Pemerintah dan pelaku usaha terkesan enggan mengotori tangan dengan berfokus menyediakan industri bahan baku subtitusi impor. Padahal, ini menjadi kebutuhan industri manufaktur selama berpuluh-puluh tahun.

"Sekarang semua serba impor, banyak sekali, dari kedelai, garam, gula dan lain-lain. Kalau saja bisa mengurangi 30 persen saja dari impor yang ada sekarang, itu akan membantu sekali," ungkapnya.

Selama ini, persoalan nilai tukar rupiah sebagian besar hanya diselesaikan oleh Bank Indonesia yang terus melakukan stabilisasi rupiah. Sayangnya, aktivitas riil tak banyak memberi sumbangsih.

"Begitu rupiah menguat, pelaku usaha percaya diri untuk kembali mengimpor, begitu saja seterusnya. Industri subtitusi impor akhirnya tidak dibangun-bangun," tuturnya.

Makanya, ia menyarankan pemerintah bekerja sama dengan pelaku industri untuk menciptakan industri bahan baku subtitusi impor.

Pemerintah bisa mulai 'menjemput bola' dengan berkoordinasi bersama pelaku industri untuk mengetahui kebutuhan industri bahan baku impor.

Tak hanya itu, eksekutif juga bisa memaksa pelaku industri untuk menerapkan syarat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dalam industri manufaktur yang dijalankan. Dalam waktu bersamaan, pemerintah juga memberi insentif investasi bagi pihak yang mau menanamkan modal untuk membangun industri subsititusi impor tersebut.

"Sektor farmasi itu 90 persen bahan bakunya impor, harusnya bisa disediakan di dalam negeri. Intinya bagaimana membujuk mereka untuk mau pakai dari sini," tuturnya.


Dia mengakui, upaya membangun industri tersebut tak bisa dilakukan dalam jangka pendek, tetapi paling tidak pemerintah harus memulainya dengan segera agar dapat terwujud paling tidak dalam kurun tiga hingga empat tahun mendatang.

Dengan demikian, pekerjaan rumah lama ini pada akhirnya rampung hingga mampu meredam kepanikan masyarakat terhadap rontoknya rupiah. (lav/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER