ANALISIS

Proyek PLTU Mulut Tambang, antara Efisiensi dan Penyimpangan

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Kamis, 19 Jul 2018 13:05 WIB
Proyek PLTU Mulut Tambang terbilang efisien dibanding pembangkit listrik lain, tetapi rawan terhadap penyimpangan karena menggunakan penunjukkan langsung.
Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih yang diciduk KPK terkait dugaan suap proyek PLTU Riau I. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pekan lalu, publik dikejutkan oleh penangkapan Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih dan pengusaha Johannes Kotjo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Eni diduga menerima suap sebesar Rp4,8 miliar dari Johannes, salah satu pemilik saham perusahaan batu bara BlackGold Natural Resources Ltd, terkait proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang Riau-I.

PLTU MT Riau-I merupakan bagian dari program ketenagalistrikan 35 ribu MegaWatt (MW) yang didorong oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam Rencana Penyediaan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2018 - 2027, PLTU MT Riau-I ditargetkan bisa beroperasi pada 2020/2021.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Istilah mulut tambang disematkan karena PLTU berada di lokasi pertambangan batu bara. Dengan ekspektasi, operasional pembangkit bisa lebih efisien karena dapat memangkas biaya angkut dan penyimpanan sumber energi batu bara.

Pemerintah juga mendukung pelaksanaan pembangunan PLTU Mulut Tambang karena sejalan dengan optimalisasi sumber energi primer lokal terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan.

Dalam diktum ketiga Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1567 K/21/MEM/2018 tentang Pengesahaan RUPTL 2018 -2028, pemerintah mewajibkan PLN untuk mengutamakan pembangunan PLTU Mulut Tambang dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas/ Gas Uap/ Mini Gas sepanjang sumber energi dimaksud tersedia di wilayah usaha yang dikembangkan.

Bagi perusahaan batu bara, proyek PLTU Mulut Tambang cukup menggiurkan. Pasalnya perusahaan bisa mendapatkan jaminan penyerapan produksi batu bara.
Daftar PLTU Mulut TambangDaftar PLTU Mulut Tambang. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Febby Tumiwa mengungkapkan, biasanya, PLTU Mulut Tambang terletak di lokasi tambang batu bara dengan kalori rendah antara 2.800 hingga 3.500 kal dengan kandungan air tinggi. Tanpa bermitra dengan PLN, konsesi batu bara tidak akan menguntungkan bagi perusahaan.

"Jenis batu bara ini tidak laku untuk dijual di pasar internasional. Kalau dikirim satu ton begitu samapai di lokasi pengiriman mungkin hanya tinggal setengah ton," ujar Febby kepada CNNIndonesia.com, Kamis (19/7).

Dalam proyek PLTU Riau-I, PLN menunjuk langsung anak usahanya PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) sebagai pelaksana proyek.

Kemudian, PJB menggandeng PT PLN Batu bara, BlackGold, anak usaha BlackGold PT Samantaka Batubara dan China Huadian Engineering. Pada Januari 2018, PJB, PLN Batu bara, BlackGold, Samantaka dan Huadian telah menandatangani Letter of Intent (LoI) untuk mendapatkan Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (PPA) atas PLTU Riau-I. Samantaka rencananya akan menjadi pemasok batu bara untuk PLTU Riau-I.


Dengan asumsi harga batu bara US$15 hingga US$20 per ton untuk kalori 2.800 hingga 3.500 kal dan biaya transportasi US$10 per ton, Febby memperkirakan Samantaka bisa mengantongi Rp700 miliar hingga Rp1 triliun per tahun dengan memasok 4 juta ton batu bara per tahun.

Febby mengingatkan bahwa PLTU Mulut Tambang menggunakan batu bara berkalori rendah. Artinya, pembangkit membutuhkan batu bara sekitar 1,5 hingga dua kali lipat lebih banyak dibandingkan PLTU biasa. Namun, dengan berkurangnya biaya transportasi dan penyimpanan, beban biaya pembangkitan PLTU MT bisa lebih rendah sekitar 30 persen.

Biaya kontruksi juga lebih murah, karena tidak perlu membebaskan lahan yang telah disediakan oleh pemegang konsesi batu bara. Tak ayal, lanjut Febby, pemerintah mengatur harga listrik PLTU MT maksimal 75 persen dibandingkan Biaya Pokok Produksi (BPP) setempat.

Di sisi lain, sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2017 tentang pemanfaatan batubara untuk pembangkit listrik dan pembelian kelebihan tenaga listrik (excess power), Pengembangan PLTU Mulut Tambang bisa menggunakan skema penunjukan langsung seperti yang terjadi di PLTU Mulut Tambang Riau-I.

Padahal, skema penunjukkan langsung rawan penyimpangan selama tidak ada kriteria yang jelas dalam proses memilih mitra pengembangan dan operasional proyek.

Untuk itu, Febby menilai pemerintah perlu memperjelas dan memperketat aturan teknis pelaksanaanya agar ke depan tidak ada lagi praktik suap dalam pelaksanaan proyek.

Sementara, Kementerian ESDM menyatakan pemerintah belum ada rencana untuk merevisi Permen ESDM 19/2017 usai kasus dugaan suap proyek PLTU MT Riau-I.

"Kalau semua dijalankan dengan niat baik, seharusnya tak ada masalah," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial pada Selasa (17/7) lalu.
Ilustrasi PLTUIlustrasi PLTU. (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)
Kelebihan Pasokan

Sesuai RUPTL 2018 -2027, proyeksi rata-rata pertumbuhan kebutuhan listrik per tahun untuk periode 2018-2027 menurun dibandingkan periode 2017-2026 dari 8,3 persen menjadi 6,86 persen. Akibatnya, proyeksi kapasitas pembangkit turun dari 77.873 MW menjadi 56 MW hingga 2027.

Melihat tren tersebut, pemerintah telah mengkaji ulang waktu penyelesaian proyek 35 ribu MW dari yang tadinya ditargetkan rampung pada 2019 menjadi 2023 - 2024. Hal itu dilakukan dengan menyesuaikan kebutuhan listrik mengingat laju pertumbuhan ekonomi masih di bawah tujuh persen.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM), per 30 Juni, pembangkit yang telah beroperasi (COD) dalam proyek 35 ribu MW tercatat baru 2.278 MW atau sekitar enam persen. Sebagian besar merupakan proyek pembangkit yang relatif singkat masa konstruksinya karena menggunakan tenaga surya, gas, dan minihydro.

Kemudian, sebanyak 16.523 MW telah memasuki masa konstruksi. Sebagian besar merupakan PLTU, Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang membutuhkan persiapan dan waktu konstruksi yang relatif lama.

Selanjutnya, 13.481 MW kontrak sudah ditandatangani tetapi belum konstruksi karena harus memenuhi persyaratan pendanaan agar bisa dilakukan financial closing. Sisanya, sebanyak 2.130 MW pada tahap pengadaan, dan 1.007 MW pada tahap perencanaan.

Sementara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mempertanyakan urgensi pembangunan sejumlah pembangkit dalam proyek 35 ribu MW, termasuk proyek PLTU Riau-I yang berkapasitas 2 x 300 MW.

Direktur Eksekutif Walhi Riau Riko Kurniawan mengungkapkan Sumatera masih kelebihan pasokan listrik. Tahun lalu, jaringan Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) kelebihan pasokan listrik sebanyak 10 persen di atas beban puncak.


Di sisi lain, dalam proyek PLTU Mulut Tambang, tambang batu bara dan pembangkit listrik akan merusak lingkungan dan polusi juga juga akan berlipat ganda bagi masyarakat sekitar.

"Hal ini menjadikan penambahan kapasitas pembangkitan di Sumatera patut dipertanyakan untuk kepentingan siapa, karena proyek energi kotor PLTU MT Riau 1 justru menghancurkan lingkungan dan sarat korupsi. PLTU MT Riau 1 sudah selayaknya dihentikan," ujar Riko dalam keterangan resmi yang diterbitkan Selasa (17/8) lalu.

Kendati mengalami kelebihan pasokan listrik, pengadaan pembangkit swasta (IPP) dengan skema pembelian take or pay selama 20-25 tahun mengharuskan PLN tetap membayar listrik yang dihasilkan pembangkit swasta tersebut walaupun energi listriknya tidak digunakan oleh konsumen.

Karenanya, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan WALHI Dwi Sawung meminta KPK mengusut PLTU Batubara swasta (IPP) lain yang terindikasi tidak diperlukan tetapi dipaksakan untuk dibangun.

"PLTU IPP tersebut terutama PLTU di Jawa-Bali dan Sumatera yang mengalami surplus listrik yang sangat besar sekali," ujar Dwi dalam keterangan resmi yang sama.

Secara terpisah, Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmi Radi menilai setiap rezim pemerintahan memiliki prioritas masing-masing.


Di era Soeharto, menurut Fahmi, pertumbuhan ekonomi melaju kencang namun tidak bisa diimbangi oleh infrastruktur pendukung, salah satunya kapasitas pembangkit listrik.

"Akibatnya, pertumbuhan ekonomi kala itu terjadi overheating," ujarya.

Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), Fahmi menilai pemerintah bersikap antisipatif meski harus membayar beban dalam jangka pendek. Misalnya di sektor kelistrikan, dalam jangka pendek, Indonesia akan kelebihan pasokan listrik seiring maraknya pembangunan pembangkit listrik dalam program 35 ribu MW.

Namun, ke depan, perekonomian akan lebih siap untuk menunjang peningkatan kebutuhan listrik dari industri.

"Pada saat industri tumbuh, listrik sudah tersedia dan akan memacu pertumbuhan ekonomi bisa sampai dua digit," ujarnya.

EBT Jadi Alternatif Sumber Energi

Pemerintah memiliki pilihan untuk memilih jenis pembangkit yang akan dibangun. Alih-alih memperbanyak pembangkit yang berasal dari energi primer fosil batu bara, pemerintah sebaiknya mendorong pembangkit listrik ramah lingkungan yang berasal dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sesuai kekayaan lokal seperti panas bumi, air, angin, dan surya.


Sayangnya, Juru Bicara Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Rizal Calvary mengungkapkan masih ada regulasi yang memberatkan swasta untuk masuk ke sektor EBT.

Misalnya, aturan terkait harga EBT yang menetapkan bahwa formula tarif setrum EBT maksimal 85 persen dari BPP regional.

"Ini yang membuat tarif EBT tidak menarik makanya swasta sekarang ogah-ogahan masuk ke pembangkit EBT," ujarnya.

Kemudian, pemerintah juga kerap mengubah regulasi sehingga kurang memberikan kepastian usaha. Akibatnya, lanjut Rizal, pengusaha EBT kesulitan mendapatkan pinjaman dari perbankan karena dianggap memiliki risiko yang tinggi.

Untuk itu, Rizal meminta pemerintah sebagai regulator memperbaiki regulasi yang ada. Dengan demikian, investasi di sektor EBT bisa meningkat terlebih pemerintah telah berkomitmen untuk mengerek porsi EBT dalam bauran energi primer menjadi 23 persen pada 2025, dari posisi tahun lalu yang masih ada di kisaran 8,43 persen. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER