Jakarta, CNN Indonesia -- Keputusan
Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI 7
Days Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 25 basis poin dianggap ampuh menahan
defisit transaksi berjalan, namun berisiko menghambat pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan saat ini BI memang tak punya pilihan lain kecuali menaikkan suku bunga acuan. Jika tidak, nilai tukar rupiah bisa semakin terjungkal dan cadangan devisa akan semakin tergerus.
Di sisi lain, perbankan harus menyesuaikan biaya peminjaman (
cost of borrowing) dan tentu akan memberatkan sektor swasta untuk melakukan ekspansi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini bisa menghambat pertumbuhan ekonomi karena pelaku usaha menahan ekspansinya. Proyeksi pertumbuhan ekonomi akan berkisar 5,1 persen atau jauh di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 5,4 persen," jelas Bhima kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (15/8).
Meski begitu, stabilisasi adalah prioritas otoritas moneter saat ini. Sebab menurut dia, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tentu akan meningkat selepas suku bunga acuan dikerek 25 basis poin. Ini bisa menjadi daya tarik investor untuk membawa arus modal kembali ke Indonesia.
"Kondisi ini yang memang ingin diatasi oleh otoritas moneter lewat kenaikan bunga acuan," jelas dia.
Namun, ia tetap mewanti-wanti bahwa pertumbuhan ekonomi akan semakin tertahan karena BI diprediksi kembali menyesuaikan suku bunga acuan sebesar 25 hingga 50 basis poin. Sebab, BI tentu akan antisipasi langkah bank sentral AS The Fed yang diprediksi menaikkan suku bunga acuan Fed Rate pada September dan Desember mendatang.
Tekanan bagi BI untuk menyesuaikan kembali suku bunga acuan semakin besar, lantaran defisit transaksi berjalan berpotensi melebar dan defisit neraca perdagangan yang tak kunjung membaik. Antara Januari hingga Juli saja, neraca perdagangan sudah mencatat defisit US$3,08 miliar.
"Tapi, harapannya BI tetap konsisten melakukan kebijakan
pre-emptive dalam menghadapi tren gejolak moneter saat ini," terang dia.
Ekspor dan Impor Jadi SolusiHal tersebut juga diamini oleh Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede. Menurut dia, keputusan untuk menaikkan suku bunga acuan menjadi 5,5 persen sudah sangat tepat. Apalagi, di tengah efek anjloknya nilai tukar lira Turki.
Meski demikian, kebijakan moneter tetap saja harus dikombinasikan dengan kebijakan pemerintah agar dampaknya tak terlalu parah terhadap pertumbuhan ekonomi dan defisit transaksi berjalan. Salah satu langkah yang cepat dan efektif adalah pengelolaan ekspor dan impor yang baik.
"Ini diharapkan bisa dikombinasikan dengan kebijakan pemerintah dalam mendorong penerimaan ekspor dari sektor pariwisata serta upaya pembatasan impor barang-barang yang nonproduktif serta penerapan kewajiban B-20," imbuh Josua.
Jika kombinasi kebijakan moneter dan fiskal ini berhasil, maka ini diharapkan bisa memberikan kepercayaan bagi pelaku pasar untuk menahan dananya di Indonesia.
"Sehingga ini juga akan mendorong stabilitas nilai tukar rupiah," pungkasnya.
(lav/bir)