Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak melemah pada perdagangan Selasa (28/8), waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan dipicu oleh aksi
ambil untung sebagian investor. Beruntung, penurunan harga dibatasi oleh meredanya kekhawatiran pasar terhadap tensi AS-Meksiko setelah kedua negara menyepakati kesepakatan perdagangan.
Dilansir dari Reuters, Rabu (29/8), harga minyak mentah berjangka Brent turun US$0,26 menjadi US$75,95 per barel. Selama sesi perdagangan, harga acuan global ini sempat menyentuh level US$76,97 per barel atau tertinggi sejak 11 Juli 2018.
Pelemahan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermerdiate (WTI) sebesar US$0,34 menjadi US$68,53 per barel. Sekadar informasi, pekan lalu harga Brent sempat menanjak 5,6 persen dan WTI naik 4,3 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tiba waktunya pasar terkoreksi," ujar Analis Pasar Senior RJo Futures Phillip Streible.
Pelemahan harga minyak sedikit berlanjut karena penutupan Institut Perminyakan Amerika (API) menyatakan bahwa persediaan minyak mentah AS naik melampaui proyeksi 38 ribu barel menjadi 405,7 juta pada pekan lalu. Sebelumnya, analis memperkirakan penurunan stok sebesar 686 ribu barel.
Selain itu, pemberitaan bahwa pekerja Total di lapangan minyak di Laut Utara batal menggelar aksi mogok pada 3 September 2018 juga membebani pasar.
Kendati demikian, penurunan harga dibatasi oleh pemberitaan bahwa AS dan Meksiko sepakat untuk memperbaiki Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA).
"Hal itu membuka jalan bagi industri energi kedua negara (AS dan Meksiko) untuk beroperasi bersama-sama dengan bebas dan hal itu baik untuk permintaan," kata Direktur Komoditas Berjangka Mizuho Bob Yawger di New York.
Negosiator perdagangan ulung Kanada juga bergabung dengan AS dan Meksiko pada Selasa kemarin untuk tetap berada di kesepakatan trilateral tersebut.
Harga juga mendapatkan sokongan dari temuan Komite Pengawas Organisasi Negera Pengekspor Minyak (OPEC) terkait OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia. Namun, laju peningkatannya lebih lambat dibandingkan perkiraan sebagian pihak.
Sementara, investor semakin yakin pasokan tidak bakal memenuhi permintaan dalam beberapa bulan ke depan. Hal itu tercermin dari menyempitnya selisih harga antara kontrak berjangka Brent untuk Oktober dan November menjadi sekitar US$33 per barel atau separuh dari kondisi bulan sebelumnya.
Di China, pengusaha kilang independen kembali mengerek impor minyak dari luar negeri setelah berada pada periode perawatan di musim panas. Hal itu demi mengantisipasi naiknya permintaan bahan bakar di musim dingin.
Sementara itu, ekspor minyak mentah dan kondensat Iran pada Agustus 2018 diperkirakan merosot ke level di bawah 70 juta barel untuk pertama kalinya sejak April 2017 lalu. Penurunan tersebut terjadi sebelum AS memberlakukan sanksi ekonomi tahap kedua pada 4 November 2018 mendatang.
"Sementara sanksi Iran tetap menjadi faktor pendorong harga (bullish), kami tidak mengharapkan ada pemberitaan baru yang mampu menggerakkan faktor ini lebih jauh bullish," tandas Presiden Ritterbusch and Associates Jim Ritterbush dalam catatannya.
(bir)