Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak dunia melemah sepanjang pekan lalu, dipicu oleh kekhawatiran terhadap kelebihan pasokan di pasar Amerika Serikat (AS). Di sisi lain, sengketa dagang dan perlambatan pertumbuhan ekonomi global juga berpotensi menekan permintaan
minyak dunia.
Dilansir dari
Reuters, Senin (20/8), harga minyak mentah berjangka Brent merosot 1,4 persen secara mingguan menjadi US$71,83 per barel. Penurunan juga terjadi pada harga minyak mentah AS berjangka West Texas Intermediate (WTI) sebesar 2,6 persen menjadi US$65,91 per barel.
Harga WTI telah melandai selama tujuh pekan berturut-turut, sementara pelemahan pada harga minyak Brent terjadi untuk pekan ketiga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Salah satu kekhawatiran terbesar adalah permintaan China yang bakal menurun jika pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) China melambat," ujar Managing Member Tyche Capital Tariq Zahir di New York.
Penurunan harga telah membebani perusahaan berjangka yang terkait transaksi minyak. Sumber mengatakan kepada Reuters bahwa dua dari perusahaan hedge fund terbesar di dunia yang fokus terhadap energi, Andurand Capital dan BBL Commodities, merugi hingga dua digit secara persentase pada bulan Juli seiring penurunan harga minyak dalam dua tahun terakhir.
Berdasarkan data Komisi Perdagangan Berjangka Komoditi AS (CFTC), manager keuangan memangkas posisi beli bersih dan opsi pada minyak mentah AS berjangka ke level terendah untuk hampir dua bulan pada pekan yang berakhir 14 Agustus 2018.
Pada Jumat lalu, Direktur Komoditas Berjangka Mizuho Americas Bob Yawger menyatakan kenaikan harga minyak tertahan oleh sentimen investor terhadap proyeksi kenaikan stok minyak mentah AS.
Pekan lalu, data Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) menunjukan peningkatan yang cukup besar pada persediaan minyak mentah AS.
"Investor tetap berhati-hati mengingat kejutan data stok persediaan minyak mentah AS yang dirilis Rabu lalu masih segar di ingatan mereka," ujar ANZ bank pada Jumat (17/8) lalu.
Berdasarkan data perusahaan energi Baker Hughes, jumlah rig minyak di AS tidak berubah pada pekan lalu yaitu tetap 869 rig, jauh di atas jumlah rig yang beroperasi pada tahun lalu, 763 rig. Sebagai catatan, jumlah rig merupakan indikator untuk produksi mendatang.
Analis dan trader juga menilai faktor utama lain yang menekan harga berasal dari proyeksi perlambatan ekonomi akibat tensi perdagangan antara AS dan China. Tak hanya itu, Harga juga merosot karena pelemahan mata uang negara berkembang yang akhirnya membebani pertumbuhan ekonomi dan konsumsi bahan bakar.
Bank Investasi AS Jefferies menyatakan ada kekurangan permintaan minyak mentah dan produk kilang dari negara berkembang. Sementara itu, DBS Singapura menyatakan data China menunjukkan penurunan kegiatan ekonomi yang terjadi terus menerus dan perekonomian tengah menghadapi tekanan akibat memanasnya tensi perdagangan.
Bank Jepang MUFG menyatakan pelemahan lira Turki bakal menahan pertumbuhan permintaan bensin dan minyak solar pada tahun ini.
Lebih jauh, di tengah permintaan yang sepertinya akan melambat, pasokan diperkirakan bakal meningkat sehingga membuat pasar makin terseret.
Sanksi IranPara analis menilai pelemahan harga minyak yang lebih jauh tertahan oleh pengenaan sanksi AS terhadap Iran, yang membidik sektor keuangan dari Agustus dan bakal mengikutsertakan ekspor minyak Iran mulai November mendatang.
"Ekspor minyak Iran masih di kisaran hampir dua juta barel per hari (bph) pada Juli 2018 dan kemungkinan akan mulai merosot secara dramatis pada Agustus dengan pengenaan sanksi di sektor keuangan yang mulai berdampak," ujar Jefferies.
Dengan sanksi terhadap ekspor minyak yang akan berlaku dalam tiga bulan, pihaknya memperkirakan ekspor bakal merosot lebih dari 500 ribu bph pada akhir kuartal III 2018.
(lav)