ANALISIS

Terpaksa Impor Karena Kesemrawutan Data Beras

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Rabu, 29 Agu 2018 10:33 WIB
Kebijakan pemerintah mengimpor beras hingga 2 juta ton menuai kritik. Kekeringan lahan dan kesemrawutan data disebut-sebut jadi biang keladi kebijakan impor.
Kebijakan pemerintah mengimpor beras hingga 2 juta ton menuai kritik. Kekeringan lahan dan kesemrawutan data disebut-sebut jadi biang keladi kebijakan impor. (CNN Indonesia TV).
Jakarta, CNN Indonesia -- Kekhawatiran terhadap pasokan beras yang berujung pada keputusan pemerintah untuk impor sering kali terjadi jelang pergantian musim. Saat hujan lebat yang diikuti dengan banjir, jalur distribusi terancam. Namun, saat musim kemarau, risiko kekeringan lahan menghantui.

Bak buah simalakama, memang. Maklum, ancamannya tak main-main, kenaikan harga. Alhasil, keputusan impor beras selalu mengundang pro dan kontra. Maklum, Persoalan beras adalah persoalan perut.

Menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), rata-rata harga beras medium nasional bertengger di atas Rp11 ribu per kilogram (kg) sejak awal tahun ini. Kondisi ini berbanding terbalik dengan tahun lalu yang cuma Rp10 ribu/kg, bahkan menyentuh Rp9 ribu/kg di beberapa wilayah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Ambil contoh di DKI Jakarta. Harga beras medium dibanderol Rp10.650/kg pada tahun lalu. Namun, sekarang harganya melonjak hingga Rp12.800/kg. Sontak saja, bikin emak-emak teriak.

Karena alasan itu, kemudian pemerintah memutuskan untuk impor. Sejak awal tahun, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, memberikan izin impor beras sebanyak 500 ribu ton. Dirasa tak cukup, pemerintah pun kembali merilis izin impor beras jilid II sebanyak 500 ribu ton.

Kemudian, siapa yang menyangka, izin impor jilid III terbit. Tak tanggung-tanggung, kali ini pemerintah mengizinkan impor beras hingga 1 juta ton. Artinya, total 2 juta ton beras impor membanjiri pasar di dalam negeri.


Menteri Perdagangan Enggartiaso Lukita sempat berdalih bahwa keputusan impor demi antisipasi kenaikan harga beras. Pemerintah kala itu menduga stok yang ada kurang memenuhi permintaan pasar. Makanya, rapat koordinasi terbatas di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memutuskan kuota impor ditambah.

Namun, menurut Enggar, volume impor beras kali ini bukan yang tertinggi dibandingkan 2014 lalu. Saat itu, impor beras mencapai 2,5 juta ton. "Itu kami tegaskan diputuskan di rakortas. Kami melihat kebijakan itu sebagai cerminan atas kenaikan harga dan pasokan yang kurang," jelasnya, akhir pekan lalu.

Memang, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa menilai impor adalah langkah antisipasi meredam gejolak harga, mengingat asa-masa panen sudah berakhir. Musim kemarau datang.

Terpaksa Impor Karena Kesemrawutan Data BerasIlustasi kontroversial impor beras. (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho).

Berdasarkan pemantauannya, 39 persen wilayah penghasil beras di Tanah Air mulai mengalami kekeringan pada bulan ini. Akibatnya, harga Gabah Kering Panen (GKP) beranjak Rp200 hingga Rp300 per kg. Bukan tak mungkin, harga beras ikut naik.

Namun, Dwi menegaskan impor bukan kebijakan terbaik. Sebab, kebijakan impor juga berawal dari data produksi dan konsumsi yang kurang baik. Andai data ini valid, maka pemerintah tak harus impor untuk mengantisipasi ancaman menipisnya pasokan beras.

Apalagi, mengacu data Kementerian Pertanian, produksi beras nasional di atas kertas surplus 13,81 juta ton pada tahun lalu. Nah, jika benar produksi beras berlebih, tidak seharusnya harga beras melambung.


"Kebijakan ini sebetulnya juga muncul dari data yang simpang siur. Coba saja kalau dari awal datanya akurat, tentu pemerintah tak akan membuat kebijakan yang kontroversial," imbuh Dwi.

Ketidakakuratan data tersebut, ia melanjutkan, juga membuat perencanaan kebijakan pemerintah terkesan serampangan. "Jadi, pemerintah lebih baik perbaiki data terlebih dahulu ke depan. Idealnya, memang data produksi ini harusnya jadi dasar kebijakan," ujarnya.

Hal senada disampaikan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah. Menurut dia, pemerintah tak bisa terus menerus meng-kambing hitam-kan musim kemarau sebagai pemicu pasokan dan kenaikan harga beras.


Ada kemungkinan, tata niaga yang buruk bikin harga beras melompat. Buktinya, melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) bulan lalu, harga beras kualitas rendah di tingkat penggilingan naik 0,82 persen menjadi Rp9.015/kg. Beras medium naik 0,68 persen menjadi Rp9.198/kg. Sementara, beras premium naik 0,44 persen jadi Rp9.520/kg.

Tapi, di antara data itu, harga gabah cenderung turun. Tercatat, harga GKP di tingkat petani turun 0,38 persen menjadi Rp4.633/kg dan di tingkat penggilingan turun 0,48 persen menjadi Rp4.716/kg.

"Jadi, memang masalahnya adalah suplai, baik karena musim atau tata niaga. Kalau masalahnya musim, tidak bisa diramal. Tapi kalau masalah tata niaga, itu seharusnya bisa diantisipasi," tutur Rusli.


Misalnya, melakukan perencanaan produksi jangka panjang berbasis data yang akurat. Salah satu upaya untuk menunjang akurasi data dengan konsolidasi lahan. Cara lain, bergerak lewat Satuan Tugas (Satgas) Pangan apabila terjadi penimbunan beras.

Nah, kalau cara itu masih mentok, Rusli tak segan-segan mengusulkan impor. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER