Jakarta, CNN Indonesia -- Deflasi yang dicatat Badan Pusat Statistik (
BPS) terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Agustus 2018 agaknya tidak bisa menjadi acuan keberhasilan pemerintah dalam menjaga harga-harga pangan. Soalnya,
deflasi terjadi saat nilai tukar
rupiah melemah.
Diketahui rupiah terus melorot. Hingga sore hari ini, berdasarkan data
Reuters, Selasa (4/9), rupiah melemah hingga Rp14.935 per dolar AS. Di sepanjang tahun, rupiah telah
rontok 1.400 poin atau lebih dari 10,25 persen.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut tak lumrah terjadi deflasi saat rupiah meradang. "Kondisi ini mencerminkan
imported inflation (
inflasi dari barang impor) akibat pelemahan rupiah belum dirasakan karena pedagang masih menahan harga jual," ujarnya kepada
CNNIndonesia.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memang, ia mengakui masyarakat sudah melewati puncak tingkat konsumsinya pada Juni lalu saat Ramadan dan Lebaran menyapa. Pun demikian, ketika konsumsi berangsur normal hingga mengakibatkan deflasi di tengah pelemahan rupiah bisa berarti terjadi penurunan daya beli masyarakat.
Lagipula, dalam deflasi masih terdapat inflasi dari komponen gejolak harga pangan (volatile foods) yang membengkak hingga 4,97 persen pada Agustus 2018. Ekonom CORE Mohammad Faisal mengatakan inflasi dari volatile foods merupakan bukti pemerintah belum menangani masalah inflasi secara menyeluruh.
Menurut dia, inflasi volatile foods cenderung dijaga dengan mengupayakan pasokan komoditas pangan yang berlimpah. Misalnya, beberapa waktu lalu ketika harga beras melambung, pemerintah buru-buru mengimpor beras. Belakangan ini, izin impor beras diketahui mencapai 2 juta ton.
"Stabilisasi harga itu sering kali diatasi dengan impor. Seharusnya, kalau mau stabil itu dipastikan pasokan domestik dari petani," imbuh dia.
Sebab, pengendalian inflasi dengan suntikan impor bisa menjadi bumerang di kemudian hari. Misalnya harga pangan impor memang menjadi lebih murah, namun ketika pasokan impor menipis akan mendorong kenaikan harga di tengah-tengah masyarakat.
"Ketika suplai domestik berkurang, itu nanti tidak stabil. Apalagi, ketika kondisinya seperti sekarang ini, saat rupiah melemah, nanti pasti akan ada imported inflation," katanya.
Inflasi dari barang impor ini menjadi risiko baru yang mengancam target inflasi pemerintah. Pelemahan rupiah yang berlangsung sejak awal tahun akhirnya diproyeksi membuat importir tak sanggup lagi menahan kenaikan harga jual produk ke konsumen.
"Tekanan ke inflasi akan semakin terasa ketika ada beberapa faktor datang bersama, misalnya rupiah melemah, permintaan naik, pasokan terbatas," jelasnya.
Selain dari pelemahan rupiah, lanjut Faisal, risiko peningkatan inflasi juga datang dari kebijakan pembatasan impor melalui pengenaan tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor. Kebijakan itu akan berdampak terhadap kenaikan harga di dalam negeri, sehingga mendorong inflasi.
Dia memperkirakan inflasi akhir tahun nanti berkisar 3,5 persen-4 persen atau lebih tinggi dari target pemerintah yang sebesar 3,5 persen. Hal itu mudah terjadi jika pemerintah tidak benar-benar menjaga harga barang-barang yang diatur (
administered price).
"Selama tarif listrik dan Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak dinaikkan, maka setidaknya bisa menjaga inflasi," terang Faisal.
Apabila pemerintah abai dengan hal tersebut, daya beli masyarakat menjadi taruhannya. Pelemahan daya beli ini kemudian akan merembet ke pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan tingkat kemiskinan.
Hal senada disampaikan Ekonom BCA David Sumual. Ia mengingatkan agar pemerintah waspada terhadap risiko peningkatan inflasi akibat pelemahan rupiah dan kegiatan impor yang tinggi beberapa waktu belakangan. Apalagi, indeks harga grosir (wholesale price index/WPI) sudah meningkat 11 persen sejak awal tahun.
Ini berarti kenaikan harga di tingkat pembelian grosir belum diturunkan oleh importir ke konsumen. Ujung-ujungnya menaikkan harga jual eceran. "Jadi, harus diwaspadai, karena kemungkinan sebagian importir akan menaikkan harga sekitar 3-6 persen jelang akhir tahun nanti," ucapnya.
(bir)