Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan
Sri Mulyani Indrawati mengaku kesulitan dalam menebak dan menetapkan asumsi makro berkaitan dengan pelemahan
rupiah saat ini.
Hal tersebut ia sampaikan saat rapat bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) dengan bahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019.
Ani mengatakan banyak faktor yang memicu pelemahan rupiah dan datangnya silih berganti. Faktor dari global, penyebab pelemahan datang dari berbagai penjuru.
Pertama, perang dagang yang berkecamuk antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Kedua, normalisasi kebijakan moneter bank sentral AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketiga, gejolak ekonomi yang terjadi di sejumlah negara berkembang, seperti Turki dan Argentina. Tekanan tak kalah besar juga datang dari sisi dalam negeri.
Memburuknya kinerja perdagangan dalam negeri yang merembet ke terjadinya pelebaran defisit neraca transaksi berjalan juga diakuinya membuat tekanan terhadap rupiah sulit dibendung.
"Terus terang dengan kondisi seperti itu, menetapkan nilai tukar rupiah bukan perkara mudah. Kondisi sekarang seperti badai yang sempurna
(perfect storm)," katanya Selasa (4/9).
Ani mengatakan pemerintah saat ini terus berusaha mencari cara mengurangi tekanan dan menghitung asusmi makro kurs rupiah yang lebih realistis lagi. Dalam Nota Keuangan RAPBN 2019, pemerintah mematok asumsi makro kurs rupiah menjadi Rp14.400 per dolar AS.
Tapi saat ini, rupiah sudah merangkak naik ke level Rp14.900. "Kami harus menjaga agar perekonomian tetap menyesuaikan situasi global. Oleh karena itu, langkah-langkah kami siapkan supaya bisa menyelesaikan masalah ini," katanya.
Nilai tukar rupiah melemah dalam pada sesi perdagangan Selasa (4/9) kemarin. Rupiah melemah lebih dari 100 poin. Untuk mengatasi masalah tersebut Presiden Joko Widodo telah memerintahkan menterinya untuk segera membenahi masalah internal dalam negeri dengan mengatasi defisit transaksi berjalan.
Sebagai informasi, defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 kemarin melebar menjadi 3 persen dari PDB.
(agt/bir)