Jakarta, CNN Indonesia -- Polemik
impor beras antara Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (
Perum Bulog) dengan jajaran institusi pemerintah terus bergulir dan menghadirkan episode-episode yang tak terlalu layak ditonton masyarakat.
Dalam konferensi pers yang digelar Rabu (19/9) kemarin, Direktur Utama Perum Bulog
Budi Waseso masih
ngotot tak melakukan kontrak impor beras lagi tahun ini. Padahal, hasil rapat koordinasi di Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian memutuskan untuk impor beras sebanyak 2 juta ton.
Kendati menolak, Kemendag mengklaim tak akan mencabut Perizinan Impor (PI) beras untuk kontrak 2018. Pasalnya, kontrak itu merupakan keputusan bersama yang dikoordinasikan langsung oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi menilai, jika persoalan impor beras untuk kontrak 2018 tak juga selesai dalam waktu cepat, bukan tak mungkin akan mempengaruhi harga beras di pasar.
Sebab, kondisi ini menimbulkan ketidakpastian di pasar. Pedagang grosir dan eceran sebagai pihak yang menjual ke konsumen berpotensi untuk menimbun sisa persediaan beras karena khawatir pasokan beras akan minus.
"Ada ketakutan kalau nanti impor tidak turun takutnya saya (pedagang grosir atau swalayan) kehabisan stok,
nah itu ya pengaruh ke harga pasar," ungkap Hizkia kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (19/9).
Melihat potensi negatif tersebut, ia berpendapat agar kali ini Bulog mengikuti keputusan hasil rapat koordinasi terlebih dahulu demi memberi kepastian di pasar.
Hal itu juga mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 103 tahun 2015 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Beras. Sebagai pelaksana impor, Bulog wajib mengikuti rekomendasi menteri berdasarkan hasil kesepakatan rapat koordinasi tingkat menteri bidang perekonomian.
"Setelah itu, harus ada reformasi di regulasi tersebut, di mana Bulog diberikan kewenangan untuk analisis pasar sendiri," imbuh Hizkia.
Jika reformasi regulasi dilakukan, Bulog bisa langsung melakukan impor jika dibutuhkan, tanpa rapat koordinasi di tingkat menteri koordinator bidang perekonomian yang memakan waktu lebih lama.
Begitu juga sebaliknya, kalau Bulog merasa stok di pasar dan gudangnya aman, maka Bulog memiliki hak untuk memutuskan apakah perlu impor atau tidak.
"Sekarang ikuti yang sudah ada dulu demi jaga pasar, demi ada kepastian hukum. Sekarang kan serba tidak jelas," katanya.
Sementara itu, Pengamat Pertanian Khudori mengatakan keputusan impor beras seharusnya dilakukan lebih efektif. Berdasarkan informasi yang ia terima dari Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman, Khudori mengatakan rapat koordinasi itu tak selalu dihadiri oleh semua pihak yang berkaitan.
"Yang saya dengar terakhir seperti itu, lalu di level pemerintahan keputusan lewat pemungutan suara
(voting). Seharusnya jangan buat keputusan
voting," tutur Khudori.
Senada dengan Hizkia, ia mengatakan konflik antara Bulog dan Mendag bisa berbuntut negatif untuk pasar, khususnya kepada harga beras dunia.
"Pasar pangan itu sensitif, mudah terguncang kalau pejabat seperti ini. Tapi lebih ke beras dunia," jelas Khudori.
Untuk itu, ia menyebut perbedaan pendapat seharusnya bisa diselesaikan di level Menko Perekonomian atau di internal pemerintah.
Lebih lanjut, Khudori berpendapat, sikap Budi sebagai pemimpin Bulog memang terlihat seperti melawan pemerintah karena menolak impor beras baru tahun ini.
Namun, kata Khudori, masyarakat perlu melihat persoalan ini lebih rinci. Sebab, jumlah pasokan beras di gudang Bulog sebenarnya saat ini sudah terbilang aman.
"Kan ada perubahan kebijakan tentang subsidi pangan yang sebelumnya diberikan bantuan beras langsung untuk setiap keluarga, sekarang kan bantuannya ditransfer Rp150 ribu. Jadi penyebaran outlet beras berkurang," ujar Khudori.
Terkait stok beras tahun ini, Budi Waseso menyebut pihaknya optimistis bisa mengumpulkan beras di gudang Bulog sebanyak tiga juta ton hingga akhir 2018.
Saat ini, jumlah stok sebanyak 2,4 juta ton. Bila dirinci, 1,4 juta ton di antaranya merupakan beras impor dari kontrak 2017 lalu. Kemudian, untuk per harinya Bulog bisa menyerap empat ribu ton selama musim kemarau dan 10-15 ribu ton per hari selama musim panen.
Bahkan, Budi yakin stok hingga Juni 2019 akan aman tanpa impor. Ia juga masih enggan mengelurkan stok impor karena dinilai belum dibutuhkan oleh masyarakat.
 Ilustrasi beras. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono). |
Mafia Beras Jadi 'Kambing Hitam'Dalam kesempatan yang sama, Hizkia menyebut mafia selalu jadi kambing hitam persoalan impor. Namun, sebenarnya tak pernah bisa dibuktikan siapa mafia atau penimbun beras itu sendiri.
"Kalau ada mafia harusnya dua sampai tiga bulan ke depan harga sudah turun lagi tapi kalau lihat posisi sekarang saja sudah naik terus," ucap Hizkia.
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata harga beras di tingkat perdagangan besar atau grosir pada Agustus 2018 mencapai Rp11.899 per kilogram (kg). Angka itu naik 4,3 persen dibandingkan Agustus 2017 yang hanya Rp11.411 per kg.
Sementara itu, Bank Dunia mencatat rata-rata harga komoditas beras Thailand pada Agustus 2018 hanya US$405 per ton atau sekitar Rp5.896,74 per kg, dengan asumsi kurs tengah rata-rata Agustus Rp14.599,86. Kemudian, rata-rata harga beras kualitas yang sama dari Vietnam US$401,6 per ton atau berkisar Rp5.847,24 per kg.
Untuk mengantisipasi keberadaan mafia pangan, Budi Waseso sudah menyampaikan kepada Satuan Tugas (Satgas) Pengadaan Kementerian Pertanian (Kementan) untuk menindaklanjuti ke jalur hukum.
"Saya sudah sangat tahu, percuma mantan polisi saya tidak tahu," pungkas Budi.
(agt/lav)