Jakarta, CNN Indonesia -- Pekan ini, kurs
rupiah terhadap dolar AS kembali merosot hingga menembus level Rp15 ribu per
dolar AS. Kurs referensi
BI Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) mencatat rupiah di level Rp15.088 per dolar AS pada perdagangan Rabu (3/10), terlemah sepanjang tahun ini.
Tren pelemahan nilai tukar rupiah sebenarnya telah diprediksi oleh sejumlah pihak. Pasalnya, tekanan dari sisi eksternal yang menyedot aliran modal dalam negeri masih terjadi.
Tekanan tersebut di antaranya, berasal dari kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) Federal Funds Rate (FFR) dan krisis ekonomi yang menghantam sejumlah negara berkembang seperti Turki dan Venezuela.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengungkapkan pasar telah mengantisipasi pelemahan rupiah. Pasar memahami kebijakan moneter negara maju yang mengetat menarik aliran modal ke negara maju. Akibatnya, pasar keuangan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tertekan.
"Tapi poin penting, pelemahan rupiah itu masih pada tahap yang masih bisa diprediksi. Artinya, tidak bergerak secara liar dan memberikan kepanikan yang menyebabkan pelemahan secara drastis dalam waktu singkat," ujarnya kepada CNNINdonesia.com, Rabu (3/10).
Ia mengakui pelemahan nilai tukar rupiah ke level Rp15 ribu per dolar AS mau tak mau mengingatkan masyarakat pada keterpurukan mata uang garuda pada era krisis ekonomi 1997/1998. Namun, kondisi perekonomian saat ini berbeda jika dibandingkan saat krisis melanda Indonesia 1997-1998 lalu.
Perbedaan salah satunya bisa dilihat dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Saat 1997, inflasi mencapai 10,3 persen dan 1998 mencapai 77,6 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi 1998 sempat -13,10 persen.
Sementara itu sekarang, pertumbuhan ekonomi masih stabil di kisaran 5 persen dan inflasi Januari-Agustus- September masih 1,94 persen. Pelemahan rupiah saat ini juga tidak terjadi secara drastis dan masih memberikan ruang bagi pelaku ekonomi untuk mengantisipasi dan menyusun strategi untuk menghadapinya.
Namun demikian Faisal mengatakan depresiasi rupiah yang terjadi saat ini tak boleh dianggap enteng. Pasalnya jika terus dibiarkan, pelemahan rupiah akan berimbas pada pembengkakan biaya produksi dan berisiko menekan kinerja perusahaan, terutama mereka yang bahan baku impornya banyak.
Jika itu terjadi, pertumbuhan ekonomi nasional bisa terseret. Selain itu, pelemahan rupiah yang terjadi di tengah tren kenaikan harga minyak dunia juga memberikan risiko pada kondisi neraca perdagangan domestik, terutama di sektor minyak dan gas (migas). Depresiasi rupiah bisa membuat harga minyak menjadi relatif lebih mahal dan membengkakkan beban subsidi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Maklum saja, sebagian besar minyak mentah dan produk bahan bakar yang dikonsumsi di Indonesia masih diimpor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit perdagangan di sektor migas sepanjang Agustus 2018 lalu mencapai US$1,66 miliar, melebar dari periode yang sama tahun lalu yang hanya sebesar US$0,66 miliar. Angka itu lebih besar dari total defisit dagang pada periode yang sama yang mencapai US$1,02 miliar.
Impor migas sepanjang bulan lalu melonjak 51,43 persen secara tahunan menjadi US$3,05 miliar. Sementara, ekspor migas cuma naik 12,24 persen menjadi US$1,38 miliar.
Secara akumulasi, defisit migas sepanjang Januari-Agustus 2018 mencapai US$8,35 miliar atau melesat 54,63 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yakni US$5,4 miliar.
Menurut Faisal, hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan bank sentral adalah mencegah terjadinya kepanikan. Faisal mengingatkan percepatan laju pelemahan nilai tukar bisa terjadi oleh faktor-faktor non teknis.
"Aliran modal keluar dan juga pelemahan rupiah sebenarnya juga disebabkan oleh faktor psikologis, di samping faktor-faktor teknis teknis," ujarnya.
Di sisi teknis, pemerintah perlu mengawal pelaksanaan kebijakan untuk mendorong ekspor dan menekan impor seperti yang dikomunikasikan kepada masyarakat seperti mandatori program campuran biodiesel 20 persen ke minyak solar (B20), pembatasan impor barang hingga kenaikan PPh impor.
"Beberapa kebijakan itu tidak mudah untuk dilaksanakan dan dampaknya tidak secepat yang diperkirakan. Misalnya, kebijakan B20 itu kan masih menemui kendala dari sisi pasokan
fame," ujarnya.
Sementara itu dari sisi Bank Indonesia (BI), mereka perlu melanjutkan kebijakan pengetatan untuk mengimbangi tren global dalam bentuk kenaikan suku bunga acuan, BI-7Days Reverse Repo, serta intervensi dengan instrumen cadangan devisa.
Dengan kondisi yang ada sekarang, Faisal memperkirakan kurs rupiah di akhir tahun masih akan berada di kisaran Rp15 ribu hingga Rp15.500 per dolar AS. Faktor penekan yang terkuat berasal dari rencana kenaikan suku bunga acuan AS pada Desember mendatang.
"Kemungkinan pelemahan (rupiah) masih ada tetapi dalam level marginal dan berangsur-angsur dan tidak drastis," ujarnya.
Menurut ekonom Rizal Ramli level nilai tukar rupiah Rp15 ribu per dolar AS merupakan permulaan fase pelemahan rupiah selanjutnya. Pasalnya, kekuatan fundamental perekonomian Indonesia yang lemah tak mampu mengimbangi tekanan eksternal.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan bank sentral juga ia nilai berisiko berimbas negatif terhadap perekonomian. Menurut Rizal, kenaikan bunga acuan yang dilakukan BI demi menjaga daya tarik pasar keuangan domestik berisiko mengerek suku bunga kredit perbankan.
"Kredit macet di bank dan
financial institution itu pasti naik. Ekonomi yang tadinya 5 persen, bakal '
nyungsep' ke bawah 5 persen," ujarnya.
Kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor, menurut Rizal, juga hanya menyasar jenis barang yang volume impornya kecil dan dilakukan oleh importir menengah dan kecil.
"Ini 'ecek-ecek', yang kena pajak masa lipstik, bedak, baju, parfum, tasbih, dan sebagainya. Ini tidak cukup menutup defisit transaksi berjalan karena menteri ekonominya tidak berani menyentuh yang 'gede-gede'. Fokus sama yang 'gede' dong, jangan beraninya 'uber' yang kecil-kecil," ujarnya.
Sementara, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menilai tekanan dari eksternal sebenarnya bisa dikurangi jika pasar keuangan domestik tidak banyak bergantung kepada dana asing. Saat ini, investor asing mengusai 40 persen dari Surat Berharga Negara (SBN) dan transaksi saham di pasar modal.
Hal ini membuat Indonesia rapuh dalam menghadapi tekanan pembalikan modal ke negara maju. "Selama AS meningkatkan suku bunganya potensi pelemahan rupiah masih akan terus terjadi kecuali kita ada perubahan yang fundamental," ujarnya.
Terbukti, meski sepanjang tahun Bank Indonesia telah mengerek suku bunga acuannya sebesar 150 basis poin (bsp), pelemahan rupiah masih terjadi. "BI 7Days Repo Rate dinaikkan saja tidak cukup perlu ada langkah-langkah yang lain" ujarnya.
Di sisi lain, implementasi kebijakan pemerintah untuk menahan pelemahan rupiah masih belum optimal karena upaya menahan laju pertumbuhan impor memakan waktu.
Menurut Ahmad, selain menahan impor, pemerintah perlu sekuat tenaga mendorong ekspor ke luar negeri. Selain diversifikasi pasar dan produk, pemerintah juga perlu memasang target peningkatan ekspor tertentu untuk setiap perwakilan perdagangan Indonesia di negara sahabat.
"Kalau pemerintah bisa segera mendorong ekspor yang mendatangkan devisa itu bisa menahan laju depresiasi," ujarnya.
Ahmad menilai pelemahan kurs rupiah hanya akan terjadi sementara dan rupiah berpotensi menguat di akhir tahun mengingat BI dan pemerintah akan terus melakukan intervensi. Terlebih, tahun depan merupakan tahun politik sehingga pemerintah akan sekuat tenaga untuk menahan laju pelemahan rupiah.
(agt)