Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak mentah merosot pada perdagangan Kamis (4/10), waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan terjadi seiring prospek kenaikan produksi
minyak mentah dari Arab Saudi dan Rusia yang memicu aksi
profit taking (ambil untung) sehari setelah
harga minyak sempat menyentuh level tertinggi dalam empat tahun terakhir akibat sanksi AS terhadap Iran.
Dilansir dari
Reuters, Jumat (5/10), harga minyak mentah berjangka Brent turun US$1,71 atau 1,98 persen menjadi US$84,58 per barel. Pada perdagangan Rabu (3/10) lalu, harga Brent sempat menyentuh level US$86,74 per barel, tertinggi sejak akhir 2014 silam.
Pelemahan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$2,08 atau 2,72 persen menjadi US$74,33 per barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rabu lalu, pelaku pasar melakukan aksi ambil untung setelah Brent menanjak ke level yang paling dibeli berlebihan (overbought) secara teknis sejak Februari 2012. Sementara, WTI berada pada kondisi paling overbought sejak Januari 2018.
Indeks kekuatan relatif (Relative Strength Index/RSI) untuk Brent dan minyak mentah AS naik pekan ini ke level di atas 70 yang merupakan level acuan untuk memberikan sinyak harga telah merangkak terlalu jauh. Pada perdagangan Kamis kemarin, level RSI untuk kedua kontrak menurun ke level di bawah 70.
Membebani harga minyak, indeks pasar saham AS merosot dengan indeks acuan S&P 500 mengalami penurunan harian paling besar sejak akhir Juni 2018. Sebagai catatan, kontrak minyak mentah berjangka beberapa kali sejalan dengan pasar modal.
Mengutip laporan Genscape, para trader menyatakan persediaan minyak mentah di hub penyimpanan AS Cushing, Oklahoma, naik sekitar 1,7 juta barel sejak 28 September 2018.
"Penurunan harga hari ini sebagian besar dipengaruhi oleh penurunan tajam di pasar modal dan merupakan koreksi yang seharusnya terjadi mengingat besaran percepatan laju kenaikan harga akhir-akhir ini," terang Presiden Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch dalam catatannya.
Harga minyak mentah telah ditopang oleh antisipasi pasar terhadap pengenaan sanksi AS terhadap sektor perminyakan Iran yang akan berlaku efektif pada 4 November 2018 nanti.
Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih menyatakan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) mampu mengerek produksinya hingga 1,3 juta barel per hari (bph). Namun, ia tak memberikan sinyal kartel produsen minyak ini akan melakukan hal tersebut.
Arab Saudi berencana untuk investasi sebesar US$20 miliar untuk menjaga dan kemungkinan melakuan ekspansi dari kapasitas produksi minyak cadangannya. Saat ini, Arab Saudi memiliki kapasitas yang terjaga sebesar 12 juta bph.
Sehari sebelumnya, Reuters melaporkan bahwa Arab Saudi dan Rusia diam-diam telah sepakat untuk mengerek produksi pada September 2018.
Bebani Permintaan dan EkonomiDirektur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol menyatakan bahwa kenaikan harga minyak dan kekhawatiran terhadap perdagangan global menekan perekonomian negara berkembang.
Menteri Transportasi India Nitin Gadkari dalam wawancara dengan dua stasiun televisi lokal menyatakan negaranya menghadapi 'krisis ekonomi' akibat besarnya impor minyak. Perekonomian India juga terganggu oleh pelemahan kurs rupee terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Sebagai catatan, menguatnya dolar AS membuat harga minyak yang diperdagangkan menggunakan dolar AS menjadi lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain.
"Kami telah berdebat akhir-akhir ini soal tercapainya (harga minyak) US$100 di pasar akan sulit," jelas Analis PVM Oil Associates Tamas Varga.
Varga mengungkapkan pasar akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas soal volume minyak yang hilang akibat pengenaan sanksi AS terhadap Iran pada akhir November.
"Pada saat itu, pemberitaan soal kenaikan harga akan berada di pasar," tandasnya.
(sfr/bir)