Jakarta, CNN Indonesia -- Nilai tukar
rupiah berada di posisi Rp15.218 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan sore ini, Senin (8/10). Posisi ini
melemah 34 poin atau 0,23 persen dari akhir pekan lalu, Jumat (5/10).
Di pasar spot, rupiah melemah bersama mayoritas mata uang kawasan Asia. Renminbi China melemah 0,82 persen, baht Thailand minus 0,5 persen, dan rupee India minus 0,4 persen.
Kemudian, dolar Singapura minus 0,21 persen, won Korea Selatan minus 0,17 persen, dan ringgit Malaysia minus 0,13 persen. Namun, dolar Hong Kong, peso Filipina, dan yen Jepang berhasil menguat dari dolar AS, masing-masing 0,07 persen, 0,07 persen, dan 0,34 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu pula dengan mata uang utama negara maju, mayoritas bersandar di zona merah. Rubel Rusia melemah 0,59 persen, dolar Kanada minus 0,47 persen, poundsterling Inggris minus 0,42 persen, dan euro Eropa minus 0,38 persen.
Hanya dolar Australia dan franc Swiss yang menguat dari mata uang Negeri Paman Sam, masing-masing 0,06 persen dan 0,01 persen.
Analis sekaligus Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan rupiah terpuruk karena terpaan sentimen eksternal.
Pertama, AS berhasil menurunkan tingkat penganggurannya. Tingkat pengangguran hanya 3,7 persen pada September 2018.
Angka pengangguran terpantau terus turun di era Presiden AS Donald Trump dari sebelumnya 4,8 persen pada 2016 dan 4,3 persen pada 2017.
"Rilis ketenagakerjaan ini bisa memicu bank sentral AS, The Federal Reserve untuk kembali menaikkan bunga acuannya sebanyak satu kali di akhir tahun, tiga kali di tahun depan, dan satu kali pada 2020," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (8/10).
Kedua, sentimen datang dari kebijakan bank sentral China, People's Bank of China yang memotong rasio cadangan wajib sebesar satu persen untuk penyimpanan renminbi mulai 15 Oktober mendatang.
Hasil pemotongan tersebut akan digunakan untuk membayar fasilitas kredit jangka menengah sebesar 450 miliar Renminbi.
Likuiditas juga akan disuntikkan ke pasar senilai 750 miliar renminbi untuk mendukung sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), perusahaan swasta, dan industri kreatif sebagai upaya meningkatkan ketahanan perekonomian China.
"Artinya, cadangan rasio wajib bank China sudah empat kali dipangkas. Ini akan memberi sentimen kepada dolar AS untuk terus menguat," jelasnya.
Ketiga, sentimen dari benua Eropa, yaitu terkait kondisi defisit anggaran Italia yang melebihi ekspektasi Komisi Eropa dan pasang surut keluarnya Inggris dari zona Eropa.
Sementara dari dalam negeri tidak ada sentimen positif yang bisa menopang pelemahan rupiah. Justru, sambung Ibrahim, sentimen yang ada malah mendukung pelemahan rupiah.
Pertama, cadangan devisa (cadev) Indonesia kembali merosot sekitar US$3,1 miliar menjadi US$114,8 miliar pada Agustus 2018.
Kedua, tidak ada intervensi nyata dari pemerintah dan BI belakangan ini.
 Ilustrasi dolar. (CNN Indonesia/Hesti Rika). |
Menurut dia, seharusnya pemerintah sudah mulai mengambil langkah tegas untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi untuk mengimbangi tekanan rupiah dari besarnya impor minyak mentah. Apalagi di saat bersamaan, harga minyak mentah dunia terus menguat.
"Memang mungkin yang dipertimbangkan pemerintah karena mulai Oktober 2018 sampai April 2019 sudah mulai masuk masa kampanye, sehingga harus hati-hati menaikkan BBM. Kalau tidak bisa dijadikan alat serang oleh kubu oposisi," terang Ibrahim.
Lebih lanjut ia memperkirakan rupiah akan terus melemah hingga kisaran Rp15.300 per dolar AS pada pekan ini. Sebab, masih ada sejumlah tekanan yang membayangi rupiah.
Salah satunya, akan ada rilis neraca perdagangan China pada pertengahan pekan ini. "Kalau ekspor turun dan impor meningkat, ini akan membuat indeks dolar AS menguat lagi," pungkasnya.
(uli/bir)