Pelemahan Bursa Saham Seret Harga Minyak Turun

CNN Indonesia
Rabu, 24 Okt 2018 07:16 WIB
Harga minyak mentah dunia merosot lima persen dipicu oleh aksi jual di pasar saham global yang meningkatkan kekhawatiran terhadap pertumbuhan permintaan.
Harga minyak mentah dunia merosot lima persen dipicu oleh aksi jual di pasar saham global yang meningkatkan kekhawatiran terhadap pertumbuhan permintaan. (REUTERS/Stringer).
Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak mentah dunia merosot lima persen pada perdagangan Selasa (23/10), waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan dipicu oleh aksi jual di pasar saham global yang meningkatkan kekhawatiran terhadap pertumbuhan permintaan.

Penurunan harga minyak juga terjadi setelah Arab Saudi menyatakan dapat menambah produksi minyak dengan cepat jika diperlukan. Hal ini meredakan kekhawatiran terhadap risiko menurunnya pasokan akibat pengenaan sanksi AS terhadap Iran.

Dilansir dari Reuters, Rabu (24/10), harga minyak mentah berjangka Brent turun 4,3 persen atau US$3,39 menjadi US$76,44 per barel. Selama sesi perdagangan berlangsung harga Brent sempat tertekan ke level US$75,88 per barel, terendah sejak 7 September 2018.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Pelemahan juga terjadi pada harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$2,93 menjadi US$66,43 per barel. Harga WTI sempat terjerembab 5,2 persen hingga ke level US$65,74 per barel, terendah sejak 20 Agustus 2018.

Kedua harga acuan mencatatkan persentase penurunan harga terbesar sejak Juli 2018. Dalam perdagangan pascapenutupan (post-settlement), kedua harga acuan melanjutkan pelemahan setelah Institut Perminyakan Amerika (API) menunjukkan kenaikan persediaan minyak mentah AS sebesar 9,9 juta barel pekan lalu menjadi 418,4 juta barel.

Sebagai pembanding, analis memperkirakan stok minyak AS pekan lalu hanya akan naik 3,7 juta barel. Menurut para trader, jika harga WTI merosot ke level di bawah US$65 per barel, yang merupakan level psikologis penting, maka akan terjadi aksi jual secara teknis di pasar.


"Tingkat keparahan dari penurunan (harga minyak) cukup memukul, tetapi dalam perdagangan dunia saat ini kami mengalami hari lebih sering. Sekarang, kami harus menunggu dan melihat apakah ini akan berlanjut hingga di luar kendali," terang Wakil Kepala Riset Pasar Tradition Energy Gene McGillian di Stamford Connecticut.

Harga minyak mengikuti tekanan aksi jual di Wall Street sebagai dampak sentimen terhadap pertumbuhan profit dan kekhawatiran terkait anggaran Italia. Indeks saham global MSCI tercatat menurut dua persen dan tertekan ke level terendah sejak September 2017.

"Perhatian terhadap apa yang terjadi di pasar modal dan kekhawatiran tentang pertumbuhan ekonomi telah merembes ke pasar minyak," ujar Gillian.


Di saat bersamaan, lanjut Gillian, investor akan memperhatikan dengan seksama apakah kenaikan produksi minyak Arab Saudi akan berdampak signifikan.

Menteri Energi Arab Saudi Khalid Al-Falih menyatakan dalam konferensi pers di Riyadh bahwa pasar minyak dalam posisi yang baik. Ia juga berharap produsen minyak dunia akan menyetujui kesepakatan pada Desember 2018 untuk melanjutkan kerja sama dalam mengawasi dan menstabilkan pasar.

Ia menyatakan ia tidak akan menghilangkan kemungkinan Arab Saudi akan memproduksi satu juta hingga dua juta barel per hari (bph) lebih banyak dari level produksinya saat ini.


Pengenaan sanksi AS terhadap sektor perminyakan Iran baru akan berlaku efektif pada 4 November 2018 mendatang. AS telah menegaskan keinginan untuk menghentikan seluruh ekspor bahan bakar dari Iran, namun produsen lain memproduksi minyak lebih banyak untuk menutup kekurangan pasokan dari Iran.

Selain itu, pasar minyak khawatir Arab Saudi dapat memangkas produksi minyak mentah sebagai upaya retaliasi jika mendapatkan sanksi terkait kematian jurnalis Jamal Khashoggi. Namun, Falih telah menyatakan tidak ada intensi untuk melakukan kebijakan tersebut pada awal pekan ini.

Analis Energi Economist Intelligence Unit Peter Kiernan menilai jika Arab Saudi memangkas produksinya, maka akan merugikan Arab Saudi sendiri karena berisiko kehilangan pangsa pasar ke eksportir dari negara lain dan kehilangan reputasi sebagai pelaku pasar yang stabil.


Analis UBS memperkirakan laju pertumbuhan minyak dunia akan melambat pada 2019 dengan hanya tumbuh sebesar 1,2 juta bph. Perlambatan permintaan terjadi akibat kenaikan harga minyak dan pelemahan pertumbuhan ekonomi global. Permintaan di negara anggota OECD cenderung datang, namun China dan India tetap menjadi penggerak permintaan.

Sementara itu, Menteri Energi Rusia Alexander Novak kepada kantor berita Rusia TASS menyatakan produksi minyak Rusia telah meningkat 150 ribu bph dibandingkan Oktober 2016.

Impor minyak dari Iran juga telah menurun. Berdasarkan data perusahaan plat merah Korea National Oil Corp, Korea Selatan tidak mengimpor minyak dari Iran pada September lalu.

Kendati demikian, produksi minyak AS telah terkerek hampir sepertiga sejak pertengahan 2016. Kenaikan produksi tersebut dapat membantu menutupi hilangnya ekspor minyak dari Iran. (sfr/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER