Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Partai Gerindra
Fadli Zon memuji dan mengapresiasi kebijakan Pemerintahan
Jokowi dalam memperbaiki data produksi
beras. Ia mengatakan perbaikan pendataan produksi beras nasional yang dilakukan Presiden Jokowi dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai acuan dalam pembuatan kebijakan, tepat dan patut diapresiasi.
Perbaikan tersebut ia yakini bisa memperbaiki keakuratan data produksi beras. "Pemutakhiran metode perhitungan produksi beras yang dilakukan BPS saya apresiasi. Koreksi telah menjawab rumor; data pangan yang dimiliki pemerintah memang tidak akurat," kata Fadli seperti dikutip dari akun twitternya, Sabtu (27/10).
Data produksi beras nasional berantakan. Terdapat ketidakakuratan data yang dimiliki oleh pemerintah. Ketidakakuratan disebabkan oleh perbedaan data produksi beras yang dimiliki oleh BPS dan Kementerian Pertanian.
Untuk 2018 ini saja BPS memproyeksikan
produksi beras nasional sampai dengan akhir tahun hanya akan mencapai 32,42 juta ton. Tapi, Kementerian Pertanian justru memberikan proyeksi berbeda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Proyeksi mereka, produksi beras 2018 kemungkinan akan mencapai 46,5 juta ton, atau lebih tinggi 32 persen dibanding data BPS. Tak cuma produksi beras, data berbeda juga terjadi di luas lahan sawah baku. Data citra satelit resolusi tinggi LAPAN dan BIG menunjukkan luas lahan sawah baku saat ini 7,1 juta hektare (ha).
Sementara itu, data Kementerian Pertanian per September menunjukkan data luas lahan sawah sebesar 8,18 juta ha. Presiden Jokowi beberapa waktu lalu mengatakan perbedaan dan permasalahan data produksi beras tersebut sudah terjadi sejak 1997 atau Era Presiden Soeharto.
Agar masalah keakuratan tersebut tidak terus terjadi, Jokowi memutuskan untuk menggunakan data produksi beras yang dikeluarkan BPS sebagai acuan pemerintah dalam membuat kebijakan. Fadli mengatakan perbaikan pendataan produksi beras memang diperlukan.
Pasalnya permasalahan data produksi beras antara BPS dan Kementerian Pertanian cukup fatal. Perbedaan tersebut berpotensi membuat kebijakan beras yang diambil pemerintah salah.
"Menurut BPS, p
roduksi beras kita 32,42 juta ton, sementara Kementan 46,5 juta ton. Selisihnya lebih dari 30 persen. Besar sekali. Bayangkan potensi penyimpangan kebijakan yang muncul akibat deviasi yg sangat besar tersebut, pastinya banyak sekali," katanya.
Evaluasi RAPBN 2019
Selain mengapresiasi kebijakan tersebut, Fadli juga meminta pemerintah mengevaluasi kembali RAPBN 2019. Pasalnya, perubahan kebijakan soal data produksi beras akan berpengaruh pada RAPBN 2019.
Perubahan tersebut akan membuat kebijakan pemerintah dalam RAPBN 2019 berubah. "T
idak lucu jika basis datanya berubah, namun kebijakannya tak berubah," katanya. (agt)