Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak dunia kembali merosot pada perdagangan Kamis (1/11), waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan dipicu oleh kekhawatiran penurunan permintaan global saat produksi dari produsen
minyak utama dunia tengah menanjak.
Dilansir dari Reuters, Jumat (2/11), harga minyak mentah berjangka Brent turun US$2,15 atau 2,9 persen menjadi US$72,89 per barel. Pelemahan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$1,62 atau 2,5 persen menjadi US$63,69 per barel, terendah sejak 9 April 2018.
Harga WTI lebih rendah sekitar 17 persen dari level yang dicapai pada awal Oktober. Para analis mengantisipasi lebih banyak aksi jual dalam beberapa hari ke depan. Pelemahan dolar AS dan kenaikan kinerja pasar modal pada Kamis (2/11) tak mampu mendorong harga minyak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penjual sepertinya memegang kendali," ujar Wakil Kepala Riset Pasar Tradition Energy di Stamford, Connecticut AS.
Pelemahan harga minyak mengalami akselerasi setelah WTI akhirnya tertekan hingga ke level di bawah US$65 per barel yang mencerminkan tingkat permintaan selama musim semi dan musim panas.
Lebih dari 750 juta kontrak minyak berjangka berpindah tangan, melampaui rata-rata pergerakan dalam 200 hari terakhir yang sebesar 576 juta kontrak per hari.
Kedua harga acuan mengalami penurunan bulanan terbesar sejak Juli 2016 pada Oktober lalu dengan harga Brent yang merosot 8,8 persen dan WTI yang tertekan hampir 11 persen.
Produksi minyak AS, Rusia, bersama dengan negara anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang telah terkulminasi mendorong spekulator keluar dari pasar.
Pada Rabu lalu, Kementerian Energi AS menyatakan secara umum produksi minyak AS mencapai 11,35 juta barel per hari (bph) pada Agustus lalu dan diperkirakan masih tumbuh. Kemudian, Rusia memproduksi 11,41 juta bph. Survei Reuters juga menunjukkan peningkatan produksi minyak harian OPEC.
Membanjirnya minyak telah menghapus kekhawatiran bahwa pasar tidak akan mampu mengimbangi penurunan ekspor minyak Iran lebih jauh saat sanksi AS berlaku efektif mulai 4 November 2018 mendatang.
Menurut Gillian, kenaikan produksi minyak OPEC mulai benar-benar meredakan kekhawatiran seputar berkurangnya pasokan minyak dari Iran.
Harga minyak juga mendapatkan tekanan dari munculnya kekhawatiran terkait kemungkinan perlambatan pertumbuhan global mengingat perang dagang antara AS dan China belum berakhir dan mulai berimbas ke negara berkembang.
Sektor manufaktur China pada Oktober lalu mengalami perlambatan ekspansi terbesar dalam dua tahun terakhir. Hal itu terjadi karena perlambatan pertumbuhan domestik dan eksternal yang menjadi tanda memburuknya dampak perang dagang dengan AS terhadap perekonomian.
"Investor minyak saat ini bertaruh pada potensi perlambatan (perekonomian) global," tandas Analis Huatai Great Wall Capital Management.
(sfr/bir)