Jakarta, CNN Indonesia -- Roda kehidupan memang berputar. Tak terkecuali bagi
Enggartiasto Lukita. Sebelum menduduki jabatan sebagai orang nomor wahid di
Kementerian Perdagangan, pria kelahiran Cirebon, 12 Oktober 1951 tersebut hanyalah seorang aktivis alias tukang
demo.
Ia didapuk sebagai Menteri Perdagangan pada 27 Juli 2016, saat upaya bongkar pasang (
reshuffle) Kabinet Kerja Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) jilid kedua. Ia ditunjuk untuk menggantikan Thomas Trikasih Lembong, yang saat ini menduduki jabatan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Bagaimana perjalanan karirnya?
[Gambas:Video CNN]
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Enggar menjadi aktivis sejak masih berseragam putih abu-abu. Demonstrasi merupakan salah satu kegiatan yang dilakukannya hingga ia duduk di bangku perguruan tinggi di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung. Awalnya cuma sekadar ikut-ikutan teman.
Namun, semakin lama dilakoninya, semakin ia gatal untuk menyuarakan aspirasinya. Bila ia melihat atau merasakan ketidakadilan, ia akan berteriak. Suaranya akan terdengar lantang. "Saat saya memimpin demonstrasi, saya tidak pernah takut," ujarnya, dalam wawancara dengan
CNNIndonesia.com, di Zurich dan Madrid, belum lama ini.
Jiwa aktivis ini kemudian mendarah daging dan terus ia bawa hingga melangkah ke dunia kerja. Ketika itu ia mengawali karir sebagai salah satu staf di PT Bangun Tjipta Sarana, perusahaan asuhan Siswono Yudo Husodo atau dikenal dengan pak Sis.
Enggar mengaku mengidolakan pak Sis, yang juga memiliki latar belakang sebagai aktivis pada masanya. "Pak Sis adalah mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah ditahan dan menjadi (sejarah) salah satu dari peristiwa 10 Mei 1963," jelasnya.
Bekerja dengan sang idola memotivasi Enggar. Loyalitas dan kualitas sebagai seorang profesional itu yang kemudian membawanya duduk di kursi direktur utama perusahaan tempat ia mengabdi. Bonus lainnya, ia mengantongi sebagian saham perusahaan.
Dari sana, ia mulai aktif berorganisasi di kalangan pengusaha. Ia tercatat pernah bergabung dan menduduki jabatan penting di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), hingga Real Estate Indonesia (REI).
Boleh dibilang, pak Sis menjadi inspirasi hidup Enggar. Tengoklah, selama bersama pak Sis, ia mewujudkan mimpi membangun usahanya sendiri. Tidak cuma itu, ia juga sukses mengumpulkan keberanian untuk menjadi anggota Partai Golkar.
"Pak Sis bilang, '
Enggar kalau kamu ingin perubahan, kamu harus masuk ke dalam sistem dan sistemnya saat itu adalah Partai Golkar. Kalau tidak, maka kamu hanya menjadi demonstran yang ada di luar jalur dan belum tentu didengar'," terang dia, menirukan ucapan Siswono Yudo Husodo.
Namun, menjadikan partai sebagai kendaraan politik untuk bersuara pun tidak mudah. Enggar baru mendapat kursi keanggotaan MPR pada 1997 silam atau 18 tahun setelah memulai karir di Partai Golkar. Dari sana, ia terus melanjutkan karirnya menjadi anggota DPR untuk tiga periode berturut-turut sejak 1999 hingga 2013.
Cakrawala berpikirnya meluas. Ia tidak lagi berpikir bahwa Partai Golkar satu-satunya kendaraan untuk menyuarakan aspirasinya. Ia pun berpindah ke partai baru, Nasdem. Bersama Surya Paloh, Ketua Umum, ia membangun Partai Nasdem hingga dipercaya untuk diusulkan masuk Kabinet Kerja Jokowi.
Berikut ini petikan wawancara lengkap
CNNIndonesia.com dengan Enggar.
Apa tantangan terberat bapak dari aktivis, pengusaha, politikus, hingga menjadi Menteri Perdagangan?Dunianya beda. Sebenarnya, saya masuk partai politik 40 tahun lalu. Kemudian, saya kampanye untuk Partai Golkar sejak 1980-an. Baru pada 1997, saya jadi anggota MPR, karena saya ingin mengurusi bisnis.
Ada hal yang buat saya pribadi tidak mau hidup dari politik. Saya mau mandiri. Dengan begitu, tidak ada yang mendikte saya, karena saya tidak bergantung. Saya baru masuk menjadi anggota DPR pada 1999. Terus tiga periode berturut-turut saya menjadi anggota DPR. Di situ saya bebas.
Satu, saya tidak pernah bersentuhan dengan APBN. Saya tidak punya ketergantungan dengan pemerintah. Saya hidup bebas, saya tidak takut kepada mitra karena kalau saya jadi kontraktor dan saya hidup dari APBN, ya saya tidak bisa, saya ditekan-tekan terus karena saya takut proyek saya dicoret. Kedua, dapur saya sudah mengepul. Memang mau dibilang apapun godaan cukup itu relatif, tapi minimal saya bertekad saya tidak mau terganggu. Saya cukup, walaupun cukup itu relatif. Tapi saya bilang cukup, saya
more than enough.
Jadi bebas, hanya saja untuk itu perusahaan saya wajib menggaji saya waktu saya jadi anggota DPR. Namun, penerimaan saya sebagai anggota DPR tidak pernah saya pakai karena saya banyak kegiatan sosial dan politik.
Dari pengusaha, lalu menjadi menteri tentu ada penyesuaian. Apa yang terberat? Melaksanakan perintah pak Jokowi. Kalimatnya sederhana, tapi begitu saya dengar ini jelas sekali ini benar-benar order perintah yang tidak multi-interpretatif. Jadi jelas. Tapi saya merenung betul, tidak mudah.
Satu sisi,urusandomestiknya harus dilakukan dengan jelas. Tapi di sisi lain perdagangan luar negeri juga untuk neraca perdagangan harus dilakukan. Ya saya bersyukur saya punya jaringan, teman-teman pengusaha. Saya tahu liku-likunya. Saya tahu motivasi jadi pengusaha, ya saya lakukan pendekatan dan kehidupan birokrasi dengan kehidupan swasta kan berbeda sekali.
Apakah pernah terpikir sebelumnya atau bermimpi untuk menjadi seorang menteri?
Saya selalu bilang, saya karyawan kontrak, jelas masa waktunya. Saya dapat perintah dan kepercayaan dari presiden. Saya adalah orang pertama di sini tapi saya tidak mau berbeda. Saya mau egaliter, yang berbeda fungsi.Misalnya saya punya anak buah (di perusahaan pribadi) saya tidak suka ya saya pecat saja. Tiga kali saya pernah berhentikan. Di birokrasi kan tidak bisa seperti itu. Tapi saya ajak bicara saat rapat pimpinan, eselon 1 saya maunya seperti ini.
Tidak ada mimpi jadi menteri. Begini, cita-cita waktu itu dari dulu jangan bercita-cita untuk menjadi sesuatu yang keputusannya ada pada diri sendiri. Menteri itu adalah hak prerogatif dari presiden, mau bilang apapun ini bicara soal pembantu yang sepenuhnya ada pada beliau.
Ya saya tidak berani bermimpi. Apalagi jaman dulu, saya hanya melakukan apa yang terbaik yang saya bisa raih. Waktu dulu ya saya bicara sebagai profesional. Sebagai profesional saya lakukan yang terbaik. Pada saat jadi asisten, direktur utamanya pak Sis, cita-cita saya sederhana
kok, cita-cita saya menjadi direktur utamadiperusahaanrealestate. Pada waktu di asosiasi,REI, saya sebagai wakil sekretaris jenderal, saya bilang ini tempat di mana saya bisa bercita-cita menjadi ketua umum.
Tapi saya bilang pak Sis, ‘
pak Sis one day kalau pak Sis tanya what is your dream? this is my dream untuk menjadi ketua umum.’ Saya di HIPMI tidak bisa bercita-cita jadi ketua HIPMI, saya bilang pak Sis ‘
saya tidak bisa bercita-cita jadi ketua umum HIPMI.’ ‘
Kenapa?’ kata Pak Sis. Saya jawab, ‘
kalau mau bicara apapun, saya punya dua dosa pak Sis.’ Beliau katakan apa? Dosa asal dan keturunan, karena sudah china, lalu kristen pula. Ini bahasa jujur saja dan terus terang. Bukan berarti HIPMI rasis, tapi itu menjadi suatu kendala yang terlihat. Saya tidak bisa bercita-cita menjadi ketua umum di Kadin, di REI bisa. Ketua umum di REI sudah selesai lah saya, sekarang saya sudahlah. Dalam bisnis pun juga apalah, uang tuh saya tidak lihat. Untung sekian besar selalu dalam bentuk tanah, aset baru. Kepuasan saya adalah kalau membuat proyek baru membuka lapangan kerja baru.
Apa impian yang mungkin pernah dipendam sejak dulu? Sederhana sekali. Waktu saya selesai dari Cirebon. Lalu kuliah, kemudian memperdalam pergaulan saya sebagai aktivis, karena pada 1970 itu katakanlah masa transisi dari orde baru ke orde lama. Perbaikan ekonomi orde lama kan belum, orde baru belum tertata dengan baik dan kami mahasiswa saat itu anti
established (kemapanan). Saya waktu itu sebagai mahasiswa merasakan sekali tekanan itu. Jadi saya sebenarnya menjadi 'orang' saja sebenarnya sudah cukup, maksudnya secara materi, secara posisi pekerjaan.
Dengan pekerjaan yang padat setiap harinya sebagai menteri, bagaimana cara Anda menjaga tubuh tetap sehat? Saya bangun pagi karena itu sudah terbiasa paling lambat jam 6 pagi. Dulu sebelum saya menjadi Menteri Perdagangan, seminggu itu empat sampai lima kali saya nge-gym. Pagi bangun, kemudian pertama minum air putih dua gelas, wajib. Itu sudah jadi kebiasaan. Kemudian satu gelas temulawak, itu sudah puluhan tahun. Temulawak itu terbukti bagus untuk fungsi hati. Kadang kala jadwal saya memang bisa pergi nge-gym, lalu selesai jam sembilan pagi. Kedua, tidur harus lima jam minimal. Kalau di bawah lima jam saya tidak berani.
Nah, jadwal kadang kala tidak bisa selalu sama. Kadang diminta rapat, tiba-tiba dipanggil dan sebagainya, jadi batal (nge-gym). Aktivitas rutin berolahraga agak berkurang.
Selain berolahraga, apa yang Anda lakukan ketika memiliki waktu senggang?
Yang pasti koran saya baca semua, kalau bicara santai saya harus menghitung berapa lama. Sabtu dan Minggu juga saya pakai untuk kerja, kunjungan misalnya. Apalagi sekarang-sekarang ini saya akan lebih banyak turun ke daerah. Tapi, saya usahakan untuk Minggu pagi ke gereja. Kemudian kalau bisa ada waktu makan siang pada akhir pekan itu sama cucu. Kalau anak sudahlah, ketemu cucu.Lalu sekali-kali menonton di bioskop. Saya suka menyetir sendiri, suka bohong-bohong sedikit.Bohongin ajudan. Jadi saya pergi sama istri saya, berdua saja. Ya kalau tidak sama istri, sama anak. Kalau sama ajudan juga dansupirkankasian, masa mereka harus siap 24 jam. Kalau ke undangan pernikahan baru sama supir.
Jika sedang kunjungan kerja ke luar negeri atau luar kota, apa Anda sempat menghabiskan waktu untuk kuliner atau sekadar berjalan-jalan ke tempat hiburan?
Tidak lah ya, itu terlalu mewah untuk bisa jalan-jalan. Waktunya itu tidak ada. Jadwalnya padat, itu
working dinner atau
working lunch itu pas kerja sambil rapat. Lalu
dinner pun begitu.
Breakfast itu untuk rapat bilateral. Jadi memang padat sekali. Kuliner mungkin kalau hanya ada kesempatan, tidak setiap kunjungan kerja ada waktu. Saat ke Filipina saja saya berkali-kali ke sana tapi tidak sempat wisata kuliner.