Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah berencana untuk segera meratifikasi tujuh perjanjian
perdagangan internasional yang sudah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (
DPR) sejak 2015 hingga awal 2018.
Ketujuh ratifikasi ini akan dibawa ke meja Presiden
Joko Widodo, dan kesepakatan ratifikasinya akan dimuat dalam Peraturan Presiden.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan keputusan akhir mengenai ratifikasi berada di tangan Jokowi, sebab DPR tak kunjung menyetujuinya. Padahal, ketujuh perjanjian ini sudah disampaikan ke DPR sejak 2015 hingga tahun ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2014 pasal 84 Ayat 4, pemerintah dapat memutuskan penting atau tidaknya ratifikasi perjanjian perdagangan jika DPR tidak mengambil keputusan dalam waktu paling lama 60 hari kerja pada masa sidang.
Pertama, First Protocol to Amend the AANZFTA Agreement sudah disampaikan kepada DPR pada 5 Maret 2015. Kedua, Agreement on Trade in Services under the ASEAN-India FTA (AITISA) telah disampaikan ke legislatif pada 8 April 2015.
Ketiga, Third Protocol to Amend the Agreement on Trade in Goods under ASEAN-Korea FTA (AKFTA), dan keempat adalah Protocol to Amend the Framework Agreement under ASEAN-China FTA (ACFTA) sudah disampaikan ke DPR pada 2 Maret 2016.
Kelima, ASEAN Agreement on Medical Device Directive (AMDD), sudah disampaikan kepada DPR pada 22 Februari 2016.
Keenam, terdapat Protocol to Implement the 9th ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS-9) yang telah dilaporkan ke Senayan pada 23 Mei 2016, dan terakhir ada Protocol to Amend Indonesia-Pakistan PTA (IP-PTA) yang telah disampaikan pada 30 April 2018.
"Kami akan sampaikan ke presiden, bahwa perjanjian perdagangan internasional ini sudah disampaikan dengan surat kepada DPR, sejak 2015, ada yang 2016 dan 2018 awal," papar Darmin di kantornya, Rabu malam (8/11).
Menurut dia, ratifikasi ini cukup penting karena Indonesia bisa rugi besar jika tidak segera menyetujuinya. Pada perjanjian AANZFTA, misalnya, barang Indonesia tidak bisa mendapatkan preferensi tarif. Padahal sejak AANZFTA berlaku, Indonesia bisa menikmati untung besar dari sisi perdagangan.
Ia mencatat, ekspor ke Australia yang menggunakan fasilitas AANZFTA mencapai US$1,76 miliar atau 73,6 persen dari total ekspor ke Australia senilai $2,35 miliar pada tahun lalu.
Sementara itu, jika AITISA juga tidak diratifikasi, Indonesia tidak dapat mengakses pasar tenaga profesional di sektor konstruksi, travel, komunikasi, jasa bisnis lainnya (posisi high & middle management), dan jasa rekreasi.
Selanjutnya, jika Indonesia tak ratifikasi IP-PTA, maka Pakistan akan melakukan terminasi atas PTA sehingga Indonesia bisa kehilangan pasar minyak kelapa sawit di negara asia Selatan itu.
Padahal nilai ekspor minyak kelapa sawit ke Pakistan tahun lalu tercatat US$1,46 miliar. Pasar minyak kelapa sawit Pakistan bahkan bisa segera dikuasai Malaysia, jika Indonesia tak segera meratifikasi perjanjian tersebut.
Namun menurutnya, masalah ratifikasi ini nantinya akan tetap tergantung keputusan Jokowi. "Kami sedang mengajukan itu kepada presiden, kalau Presiden bilang tidak, kami akan tunggu saja," pungkas dia.
(glh/lav)