Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pemeriksa Keuangan (
BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) diminta mengaudit data
pangan yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Tujuannya, agar diketahui sumber masalah dari perbedaan data antara kementerian dan lembaga yang selama terjadi.
"Dengan demikian, setuju dan lebih bagus bila BPK dan KPK mengaudit ini sehingga terang benderang bagi publik bahwa semua data atau kedua data berbeda itu sumbernya sama-sama bersumber BPS," ujar Ismail, Ketua Pengurus Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Komisariat Daerah (Perhepi Komda) Pekanbaru dalam keterangan tertulis, Kamis (8/11).
Menurut dia, pemerintah mengakui data produksi beras nasional selama 20 tahun terakhir keliru. Terhitung sejak tahun 1997, angka produksi beras terus bertambah, sehingga tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Namun, kekeliruan ini dianggap kesalahan banyak pihak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data rilis terbaru BPS dengan menggunakan metode Kerangka Sampling Area (KSA), luas baku sawah yang berkurang dari 7,75 juta ha tahun 2013 menjadi 7,1 juta hektar tahun 2018. Potensi luas panen tahun 2018 mencapai 10,9 juta ha, sementara proyeksi Kementerian Pertanian (Kementan) 15,5 juta ha.
Begitu pun produksi 56,54 juta ton gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras sementara proyeksi Kementan 83,3 juta ha atau setara 48 juta ton. Dengan demikian, metode KSA pun, Indonesia mengalami surplus beras 29,50 juta ton selama 2018.
Pria yang menjabat sebagai Dekan Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau itu mengatakan sejak Indonesia merdeka sampai sekarang data pangan satu pintu di BPS.
Kementerian Pertanian (Kementan), disebut Ismail tidak mengolah data pangan. Semua rilis data Kementan berasal dari BPS. Metode BPS yakni eyes estimate digunakan untuk mengolah dan merilis data pangan. Tetapi, sejak 2016 sampai kemarin BPS tetap mendata, mengolah, namun tidak merilis data pangan karena menunggu perbaikan data dengan KSA.
Intinya, angka yang berbeda dalam data pangan milik pemerintah terjadi karena metode pengukuran lama. Dia menjelaskan metode BPS eyes estimate didukung data Daerah Aliran Sungai (DAS), benih, data potensi desa, versus satunya metode baru yakni Kerangka Sampling Area (KSA). Kedua data berbeda ini sesungguhnya 100 persen bersumber BPS.
Menurut dia, kegiatan impor dilakukan bukan karena produksi yang kurang, melainkan pengelolaan distribusi yang tidak merata, baik komoditas beras maupun jagung.
(lav/agi)