Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Dewan Komisioner
OJK Nurhaida menyatakan lembaganya tak bisa membatasi pemberian imbal hasil
investasi perusahaan
layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi fintech (
peer to peer/P2P lending) kepada investor. Sebab, imbal hasil merupakan kesepakatan antara perusahaan dengan investor atau pemberi pinjaman (
lender).
"Prioritas OJK adalah memastikan perusahaan
fintech P2P lending ini untuk memberikan keterbukaan informasi atau transparansi. Nanti pemberi pinjaman bisa mengakses sendiri risiko akan seperti apa," tutur Nurhaida, Selasa (13/11).
Di luar itu, selama kedua belah pihak sepakat tentang jumlah imbal hasil yang diberikan per tahunnya, OJK tak bisa berbuat apa-apa. Dengan kata lain, pantauan OJK hanya berdasarkan keterbukaan informasi perusahaan
fintech P2P lending.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini sudah ada juga dalam peraturan," imbuh Nurhaida.
Lebih detail, kata dia, pengaturan tersebut tercantum dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Terkait pengawasannya sendiri, Nurhaida belum bisa menjawab gamblang karena pihaknya masih akan mengecek lagi keterbukaan informasi yang dilakukan perusahaan
fintech P2P lending yang sudah terdaftar sejauh ini.
"Dalam pengawasan nanti saya cek tetapi seharusnya sudah demikian karena kalau tidak akan kena sanksi," ujar Nurhaida.
Senada, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengungkapkan pengawasan yang dilakukan OJK hanya sebatas memastikan jika uang yang ditanamkan oleh investor di suatu perusahaan
fintech P2P lending benar-benar digunakan untuk disalurkan kepada peminjam (
borrower).
"Misalnya jangan sampai janji beli motor ketika dapat uangnya digunakan untuk yang lain," ucap Hendrikus.
Jika uang yang diberikan perusahaan kepada investor tak sesuai dengan perjanjian, barulah OJK turun tangan ikut mengecek penggunaan uang tersebut. Jika nantinya investor merasa dirugikan karena tertipu oleh imbal hasil selangit perusahaan
fintech P2P lending, mereka bisa melaporkan ke OJK dan polisi.
Nantinya, jika terbukti perusahaan fintech itu menipu investor maka akan dibawa ke ranah hukum. "Tapi kalau persoalannya gagal bayar, bisnis kamu tidak sukses namanya wanprestasi itu polisi tidak bisa masuk kecuali langsung lapor pengadilan pidana," kata Hendrikus.
Dari sisi OJK, bila Fintech melakukan menipu investor, pihaknya akan memberikan sanksi secara bertahap. Mengacu pada aturan OJK, Nurhaida menyebut sanksi paling berat bisa dilakukan OJK dengan mencabut izin operasional perusahaan
fintech P2P lending.
Namun, khusus pengembalian imbal hasil perusahaan fintech kepada investor, ia belum memiliki kajian spesifik. Nurhaida mengaku akan mengecek kembali keterbukaan informasi perusahaan fintech P2P lending.
Informasi saja, CNNIndonesia.com mencatat imbal hasil yang ditawarkan oleh bisnis
fintech pinjam meminjam rata-rata di atas suku bunga acuan. Sebagian besar bahkan di atas dua digit per tahun.
Modalku misalnya, menawarkan tingkat pengembalian hingga 20 persen per tahun. Kemudian PT Amartha Mikro Fintek menawarkan tingkat pengembalian hingga 15 persen per tahun.
(aud/agt)