Jakarta, CNN Indonesia -- Satuan Tugas (
Satgas) Waspada Investasi OJK menyebut 227 penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi
(fintech peer to peer lending) ilegal telah diblokir. Pemblokiran tersebut dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bekerjasama dengan Google.
"Sudah diblokir semua
website-nya, kemudian kami sudah mengumumkan kepada masyarakat," ujar Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (8/11).
Tongam menyebut, pemblokiran dilakukan tak lama setelah pihaknya menginventarisasi
fintech-fintech ilegal tersebut. Mengacu pada Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016, penyelenggara
peer-to-peer lending wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK. Apabila tidak terdaftar, maka
fintech tersebut merupakan
fintech ilegal di luar pengawasan OJK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati sudah melakukan pemblokiran, Tongam mengaku tak dapat menjamin tak ada lagi
fintech ilegal. Untuk itu, masyarakat diimbau tidak menggunakan layanan dari
fintech ilegal dengan cara memastikan bahwa perusahaan terdaftar di OJK. Ia juga meminta agar masyarakat tidak tergiur iming-iming pencairan dana yang mudah dan cepat.
"
Fintech-fintech ilegal itu memberikan kemudahan pencairan pinjaman, tapi pada akhirnya menjerat mereka. Oleh karena itu perlu waspada, kalau mau pinjam, pinjamlah ke
fintech yang sudah terdaftar,"ujarTongam.
Tongam menegaskan Satgas Waspada Investasi bakal terus memantau perkembangan layanan
fintech di masyarakat. Bagi nasabah yang merasakan dirugikan
fintech, Satgas Waspada Investasi mendorong mereka mengambil jalur hukum dengan melapor kepada pihak berwajib.
"Kami percaya kepolisian akan melakukan penyelidikan apabila ditemukan tindak pidana," ucapnya.
Sebelumnya, kasus terkait pinjaman dari
fintech kembali mengemuka. Seorang perempuan berinisial L nekad menenggak minyak tanah untuk mencoba mengakhiri hidupnya. Awal mula percobaan bunuh diri itu dilakukan karena persoalan utang senilai Rp500 ribu dari
fintech.
Tergiur persyaratan dan proses pencairan uang yang mudah, ia terpaksa mengambil pinjaman dengan bunga yang tinggi sekitar 20 persen. Kemudahan itu membuatnya lupa diri dengan meminjam uang dari Sembilan
fintech.
Ketika ia tak mampu membayar utang,
debt collector pun menagih dengan beringas. Mereka mulai mengirim teror melalui telepon, WhatsApp, dan SMS terus menerus.
Debt collector, katanya, bahkan mengizinkan dirinya menjual organ tubuh.
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyatakan mendapat sekitar 10 jenis aduan dari 283 orang sejak 2016 terkait pelanggaran yang dilakukan perusahaan teknologi finansial (
fintech), khususnya pinjam-meminjam. Keluhannya, mulai dari bunga tinggi yang mencekik dan tak transparan hingga cara penagihan kasar yang dianggap tak sesuai Hak Asasi Manusia (HAM).
(ulf/agi)