Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah memprioritaskan pembangunan infrastruktur pada pemenuhan dan perluasan pengelolaan sampah dan sanitasi untuk lingkungan berkelanjutan, baik di kota maupun pedesaan.
Persoalan sampah domestik ini coba diatasi Kementerian PUPR dengan pembangunan Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R) di sejumlah wilayah. Dalam periode 2016-2019, ditargetkan dapat dibangun TPS 3R di 5.279 lokasi dengan kebutuhan dana sekitar Rp 1 triliun. Salah satu penerapan TPS 3R yakni pengelolaan sampah yang berada di Kampung Legok, Cipaku, Kota Bogor.
TPS 3R yang dikelola Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) ini menjadi tempat penampungan sekaligus pengolahan sampah dari sekitar 350 rumah di kampung tersebut. Manfaat keberadaan fasilitas ini bisa dirasakan langsung masyarakat dengan dikelolanya sampah yang sebelumnya tak tertampung dengan baik, bahkan bisa menjadi tambahan pendapatan untuk warga dari hasil kompos, tanaman buah, hingga budidaya ikan lele di lokasi yang sama yang pakannya berasal dari sampah olahan.
"Pengangkutan sampah dilakukan setiap hari. Sampah dipilah, kemudian dilakukan proses pengomposan. Di sini ada juga budidaya lele yang pakannya berasal dari sampah yang dikelola, serta biogas yang bisa digunakan untuk memasak," jelas Ketua KSM Legok Muncang, Amiharja.
Menurutnya, selain pemanfaatan langsung, keberadaan TPS 3R juga membuat warga semakin peduli akan lingkungannya. Sungai yang sebelumnya jadi tempat pembuangan sampah, kini tampak lebih bersih. Di sisi lain, air tanah warga pun kini jauh dari pencemaran karena TPS 3R ini setiap harinya bisa mengolah 8 kubik sampah.
Seperti halnya di Bogor, pengelolaan sampah juga dilakukan di salah satu pondok pesantren di Kota Makassar. Fasilitas TPS 3R dikelola secara bersama antara warga dengan pondok pesantren. Tumpukan sampah yang sebelumnya mengotori lingkungan di 400 rumah dan kawasan pesantren, saat ini bisa teratasi dengan baik.
Anggota KSM yang jadi pengelola TPS 3R, Ismail, berujar sampah yang tadinya diangkut sepekan sekali, saat ini bisa dibawa petugas kebersihan setiap hari. Warga sendiri hanya dikenai iuran bulanan sebesar Rp 25.000 per rumah dan Rp 600.000 untuk pesantren. Nilai yang kecil dibandingkan dengan manfaat yang bisa didapat.
Selain TPS 3R, prasarana lain yang ada di pesantren yakni Sistem Pengolahan Air Limbah DomestiK Terpusat (SPALD-T). Pesantren yang berdiri sejak tahun 1992 ini sebelumnya kewalahan mengatasi limbah harian karena langsung dibuang di saluran terbuka. Sanitasi yang buruk, membuat air sumur di sekitarnya ikut tercemar.
"SPALD-T ini sangat terasa sekali manfaatnya. Karena sebelumnya, ada bau dimana-mana saat septic tank meluber. Ini menjadi masalah buat kami. Air saat ini sangat bersih dan terjaga dari pencemaran," kata Ismail.
Di Bangka Belitung, sebuah taman baca untuk anak bahkan dibangun di atas fasilitas SPALD-T. Air limbah domestik, baik grey water maupun black water dari 65 sambungan warga tak langsung mengalir ke saluran terbuka, namun diolah di SPALD-T dengan melewati 8 kali penyulingan. Infrastruktur bersama ini dibangun dari dana APBN 2016 sebesar Rp 400 juta tersebut.
Mendukung amanah RPJMN 2015-2019, Kementerian PUPR melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya telah mencanangkan Gerakan 100-0-100. Sebuah gerakan menuju pemenuhan target 3 sektor yaitu 100% akses aman air minum, pengurangan kawasan kumuh menjadi 0%, dan 100% akses sanitasi layak pada tahun 2019.
Gerakan ini diarahkan untuk mendukung visi Direktorat Jenderal Cipta Karya yaitu terwujudnya permukiman perkotaan dan perdesaan yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan. Infrastruktur yang menentukan suatu permukiman disebut layak huni adalah ketersediaan dan kondisi akses aman air minum dan sanitasi layak.
(adv/adv)