Jakarta, CNN Indonesia -- Tak terasa, empat bulan lagi masyarakat akan menentukan pilihan sosok yang akan memimpin Indonesia lima tahun ke depan. Masing-masing calon presiden pun sudah mulai mengusung paket kebijakan yang akan dijalankan jika terpilih.
Calon presiden nomor urut 02
Prabowo Subianto, misalnya, baru-baru ini, menawarkan program pembangunan
infrastruktur tanpa
utang. Dikutip dari akun
Twitter pribadinya, pembangunan infrastruktur tanpa utang dimaksudkan untuk menunjang ekonomi di daerah-daerah perdesaan di Indonesia.
"Negara yang bisa memiliki pembangunan infrastruktur demi menunjang ekonomi di desa-desa tanpa bergantung oleh utang luar negeri. Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin hasil produksi kita akan meningkat," cuit Prabowo, Minggu (9/12) lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernyataan ini kemudian dielaborasi lebih jauh oleh wakilnya, Sandiaga Uno. Menurut dia, infrastruktur bisa didanai dengan menggenjot penerimaan pajak melalui peningkatan rasio perpajakan, misalnya dengan menurunkan tarif pajak.
"Selain itu proyek-proyek insfrastruktur dengan skema PPP belum dioptimalkan, sehingga banyak yang terlambat diputuskan," ujar Sandi.
Pembangunan infrastruktur sejatinya memang mengambil porsi terbanyak di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sejak kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di samping itu, jumlahnya pun terus melonjak dalam lima tahun terakhir.
 Anggaran infrastruktur dalam 5 tahun terakhir. (CNN Indonesia/Timothy Loen) |
Selain jumlahnya, porsi anggaran terhadap APBN pun terus meningkat. Pada 2014 atau sebelum pemerintahan Jokowi, porsi anggaran infrastruktur hanya mencapai 11 persen terhadap PDB. Porsi anggaran tersebut kemudian meningkat di tahun 2015 menjadi 16,98 persen.
Sementara itu, pada 2016, 2017, dan 2018, masing-masing porsi anggaran infrastruktur mencapai 14,43 persen, 18,95 persen, dan 18,5 persen dari total seluruh belanja pemerintah.
Tahun depan, Presiden Joko Widodo kembali menganggarkan belanja infrastruktur mencapai Rp415 triliun dalam APBN. Kenaikannya memang sangat tipis dibanding tahun ini sejalan dengan perubahan fokus Presiden Joko Widodo tahun depan yang lebih menyasar bidang Sumber Daya Manusia (SDM).
Sedari awal, pemerintah menyadari bahwa kemampuan APBN tak mumpuni untuk membiayai infrastruktur yang cukup ekspansif. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan, Indonesia membutuhkan dana mencapai Rp4.769 triliun selama lima tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo yang akan berakhir 2019 mendatang. Hanya saja, APBN mampu menopang 41,3 persen atau Rp1.951,3 triliun saja, sehingga sisanya dipenuhi dari BUMN dan swasta.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah sendiri sudah berupaya tidak menggunakan utang dalam membangun infrastruktur. Ia mencontohkan, pemerintah memiliki skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) serta Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA) yang diluncurkan oleh Bappenas.
Di samping itu, pemerintah juga tengah mengoptimalkan himpunan dana filantropis melalui skema
blended financing dan skema pembiayaan lain melalui Limited Concession Scheme (LCS) pun juga tengah diracik. Di dalam skema LCS, investor swasta bisa mengelola aset negara atau BUMN dalam jangka waktu tertentu. Namun, sebagai gantinya, investor harus membayar uang muka dalam jumlah besar
(upfront cash) di awal kerja sama sebagai "pendapatan diterima di muka", yang bisa digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur baru.
"Jadi itu semua adalah mekanisme yang menggunakan ekuitas, maka itu tidak melakukan dengan utang," katanya.
Menurutnya, pernyataan Prabowo soal pembangunan infrastruktur tanpa utang merupakan indikasi bahwa perekonomian Indonesia akan membaik ke depan. Selain itu, hal ini juga bisa meneruskan tren penambahan utang yang berkurang seiring perbaikan defisit APBN. Rencananya, pemerintah berharap defisit APBN 2019 di angka 1,84 persen atau sama seperti proyeksi akhir tahun ini.
"Kalau Pak Prabowo sebagai kontestan memiliki komitmen seperti itu, berarti akan terus meningkatkan
confidence terhadap ekonomi Indonesia, karena berarti dalam hal ini, 'Oh Indonesia memiliki kandidat presiden yang ingin APBN-nya sehat dan
sustainable'," imbuh dia.
Sebetulnya, pembangunan infrastruktur tanpa utang bukanlah mimpi di siang bolong. Tentunya, hal ini bisa saja direalisasikan oleh Prabowo melalui manuver-manuver di sisi fiskal atau pun dari sisi yang lain.
Dari sisi fiskal, Ekonom senior Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan Prabowo bisa melakukan perombakan pos anggaran untuk mewujudkan keinginannya.
Pertama, dengan asumsi pengeluran pos anggaran lain dianggap tetap (ceteris paribus), Prabowo bisa membangun infrastruktur secara pelan-pelan dan tidak se-ambisius Jokowi dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, itu semua bergantung dengan hasil
(output) yang Prabowo harapkan dari pemerintahannya. Apakah dirinya benar-benar ingin pembangunan infrastruktur yang masif, atau justru hanya dalam level moderat semata.
"Untuk membangun infrastruktur tanpa utang, tentu ya cara paling realistis yang dilakukan adalah mengurangi pembangunan infrastruktur itu sendiri. Harus ada yang dikorbankan dari segi anggaran," ujar Piter.
Di samping itu, Prabowo juga bisa melakukan realokasi anggaran dengan memberikan porsi lebih bagi infrastruktur, sama seperti Jokowi lakukan empat tahun silam dengan realokasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Namun, untuk tahap ini, Prabowo harus hati-hati. Jangan sampai realokasi belanja mencederai hak masyarakat di dalam APBN.
Ia mengutip pasal 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyebut bahwa APBN harus menjadi fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Dengan fungsi distribusi, artinya seluruh masyarakat berhak mendapat kue APBN secara proporsional, di mana fungsi ini tercermin di dalam pos anggaran seperti bantuan sosial (bansos).
 Ilustrasi pembangunan infrastruktur . (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sehingga, jika Prabowo ingin anggaran infrastruktur dipertebal, jangan sampai mengorbankan anggaran yang bermanfaat bagi khalayak banyak seperti bansos. "Apalagi, kondisi ini akan tidak adil jika nantinya infrastruktur yang dibangun hanya dinikmati segelintir orang. Kan sayang, mengorbankan hak banyak orang untuk fasilitas yang aksesnya terbatas," papar dia.
Piter melanjutkan, infrastruktur sejatinya merupakan kewajiban negara. Masalah pendanaan, seharusnya menjadi urusan belakangan. Jika memang pemerintah belum punya kemampuan fiskal, sesungguhnya pemerintah, siapa pun itu, tak perlu gengsi dengan berutang. Apalagi jika utang itu memiliki risiko rendah, ditujukan untuk menggerakkan sektor produktif, dan tata kelolanya juga mumpuni.
Apalagi, praktik utang demi infrastruktur juga lazim dilakukan di negara lain. Ia mencontohkan pendanaan pembangunan rel kereta api di Amerika Serikat yang menghubungkan daerah timur dengan Midwest tahun 1890 silam dengan menerbitkan obligasi.
Selain itu, pemerintah China pun baru-baru ini menerbitkan obligasi sebesar US$200 miliar untuk mendanai proyek infrastruktur demi menanggulangi pertumbuhan ekonomi yang melambat.
"Akan sangat bagus jika tidak berutang. Tapi untuk itu, pemerintah harus ada uang. Kalau misal utang ini bisa dipertanggungjawabkan, ya pemerintah harusnya tidak usah baper (bawa perasaan)," imbuhnya.
Selain manuver dari segi fiskal, pemerintah juga bisa mendorong kerja sama dengan pihak swasta. Hanya saja, Piter bilang, pelaku usaha enggan masuk ke sektor infrastruktur karena imbal hasilnya yang kecil dengan modal yang cukup besar, sehingga itu tidak menguntungkan.
Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan kerja sama dengan swasta mungkin hanya bisa dilakukan untuk infrastruktur yang bersifat komersial seperti bandara, jalan tol, atau pelabuhan. Hanya saja, dua permasalahan utama dari beberapa proyek infrastruktur ini adalah perizinan dan lahan, sehingga Prabowo diminta memperhatikan faktor tersebut jika terpilih nantinya.
"Di samping itu, investor kalau bisa juga diberi insentif yang menarik," katanya.
Di sisi lain, pemerintah mau tak mau harus turun tangan demi membangun infrastruktur yang nonkomersial, seperti bendungan dan jembatan. Namun, karena kapasitas fiskal pemerintah terbatas, tentu pembangunan infrastruktur didasarkan atas skala prioritas.
Untuk itu, uluran tangan pemerintah daerah juga dibutuhkan dalam mengurangi beban negara dalam membangun infrastruktur. Data yang dimilikinya mencatat, 36 persen dana Pemda justru habis untuk belanja pegawai daerah.
"Pemda juga harus realokasi anggaran. Kurangi saja belanja pegawai daerah dan kemudian dimasukkan untuk bangun infrastruktur yang masyarakat butuhkan, itu bisa jadi opsi," jelas dia.
Karena nilainya yang besar, proyek infrastruktur menurutnya mau tak mau dibangun dengan modal yang berasal dari pinjaman. Di rezim-rezim sebelumnya, ada beberapa contoh proyek infrastruktur, tapi sebagian besar lewat utang APBN atau BUMN diminta untuk mencari pendanaan.
Namun demikian, utang tetap perlu ditekan agar tidak menimbulkan risiko fiskal maupun ke kinerja keuangan badan usaha sendiri. "Dan tentu kalau bisa diperbanyak kerja sama swasta," pungkasnya.
(agi)