Jakarta, CNN Indonesia --
Penerimaan negara yang tak mencapai target selalu menjadi lagu lama pemerintah hampir setiap menjelang akhir tahun. Namun, ada yang berbeda di tahun ini.
Menteri Keuangan
Sri Mulyani dengan antusias menyampaikan penerimaan negara di tahun ini bakal melampaui target yang dicanangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Padahal, anggaran ini tak mengalami perubahan sejak mulai disusun pada Agustus hingga Oktober 2017.
Hingga pengujung tahun, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu optimis pendapatan negara bisa menembus angka Rp1.936 triliun atau lebih tinggi 2,21 persen dibanding target APBN 2018 sebesar Rp1.894 triliun. Jika prediksinya tidak meleset, maka capaian ini akan menjadi sejarah dimana kantong negara terisi lebih dari 100 persen dari target dalam APBN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini pertama kalinya penerimaan negara akan mencapai melebihi apa yang ada di dalam Undang-Undang (UU) APBN," jelas Sri Mulyani, Rabu (5/12).
Namun, menurut catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) penerimaan negara per 30 November 2018 baru mencapai Rp1.654,5 triliun atau 87,3 persen dari target dalam APBN 2018 yang sebesar Rp1.894 triliun.
Berkaca dari realisasi penerimaan negara pada sebelas bulan terakhir, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara agak pesimis penerimaan negara tidak mampu mencapai 100 persen.
"Kalau semuanya digabung dalam hal penerimaan negara maksimum sekali realisasinya sekitar 97-98 persen. Kalau sampai 100 persen kelihatannya masih terlalu berat," kata Bhima kepada
CNNIndonesia.com.
Bhima menjelaskan penerimaan negara akan terganjal penerimaan pajak yang diprediksi tidak mencapai 100 persen. Data Kemenkeu mempaparkan, per 30 November penerimaan pajak baru mencapai Rp1.136,6 triliun atau 79,8 persen dari target Rp1.424 triliun.
Menurut Bhima, salah satu pos penerimaan pajak yang belum maksimal adalah Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Per 30 Oktober 2018, Kemenkeu mencatat realisasi PPh Badan mencapai Rp193,97 triliun atau tumbuh 25,21 persen.
"Maksimal sekali untuk penerimaan pajak itu sekitar 94 persen, karena waktunya tinggal sedikit," kata Bhima.
Bhima mengatakan terpenuhinya kantong negara saat ini tidak lepas dari imbas positif sentimen eksternal, seperti kenaikan harga minyak dunia dan batu bara. Saat ini, penerimaan pajak masih ditopang oleh PPh Minyak dan Gas (Migas).
Per 30 November 2018, Kemenkeu mencatat PPh migas sebesar Rp59,8 triliun atau 156,7 persen dari target Rp38,1 triliun.
Bhima menuturkan realisasi itu tidak lepas dari kenaikan harga minyak dunia. Harga minyak dunia sempat mencapai titik tertinggi tahun ini di kisaran US$80 per barel, meski kini perlahan bergerak melemah.
Dikutip dari
Reuters, pada Kamis (7/12) waktu setempat, harga minyak mentah berjangka Brent berada di posisi US$60,06 per barel. Sementara harga minyak mentah berjangka di AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US451,49 per barel.
 Harga minyak mentah Indonesia. (CNN Indonesia/Fajrian) |
Menurutnya, pos yang signifkan menopang penerimaan negara justru berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Ini didorong oleh kenaikan harga komoditas yang berangsur naik, salah satunya batu bara.
Data Kementerian Keuangan per 30 November menunjukkan realisasi PNBP mencapai Rp342,5 triliun atau 124,4 persen dari target yang hanya Rp275,4 triliun.
"Kalau PNPB bisa tembus 100 persen bahkan lebih, itu karena ada bantuan dari harga batu bara yang sepanjang tahun bagus. Kemudian kalau dari pajak sendiri yang mendorong, yaitu PPh migas karena penerimaan minyak bagus dan harga juga naik," jelasnya.
Bhima melanjutkan keputusan pemerintah untuk menaikkan PPh pada 1.147 jenis barang impor mulai dari 2,5 persen hingga 7,5 persen ikut menyumbang penerimaan negara. Penerimaan dari sisi impor ikut tumbuh seiring pemberlakuan aturan itu serta kenaikan volume.
"Jadi faktor yang menopang penerimaan negara adalah kenaikan harga minyak, harga batu bara, dan bea masuk atas barang impor," ujar Bhima.
Direktur Eksekutif Center of Reform for Economic (Core) Indonesia Mohammad Faisal mempunyai pendapat yang berbeda dengan Bhima. Faisal melihat peluang penerimaan negara bisa menembus target.
Namun, Faisal mengamini pernyataan Bhima jika faktor-faktor penopang penerimaan negara bukan berasal dari optimalnya kebijakan pemerintah, melainkan keberuntungan akibat kondisi eksternal seperti kenaikan harga minyak dan batu bara.
Ia juga menuturkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memberikan imbas positif pada bea masuk dan keluar. Per 30 November 2018 realisasi bea masuk mencapai Rp35,4 trilun atau 99,1 persen dari target sebesar Rp35,7 triliun. Realisasi bea keluar bahkan melonjak hingga 205 persen menjadi Rp6,2 triliun dari target APBN sebesar Rp3 triliun.
"Ibarat mendapat durian runtuh. Tidak ada yang memperkirakan bahwa di tahun ini akan ada kenaikan harga minyak sedemikian cepat dan pelemahan nilai tukar rupiah yang sedemikian dalam. Dua faktor itu yang mempengaruhi penerimaan APBN jadi meningkat," ujar Faisal.
Meskipun, penerimaan negara naik, Faisal bilang pemerintah masih perlu melakukan evaluasi. Sebab, jika ditelaah lebih dalam, penerimaan negara dari dalam negeri sebetulnya malah kurang.
Ia mencontohkan, per 30 November 2018, Kemenkeu mencatat realisasi PP nonmigas sebesar Rp591,6 triliun atau 72,4 persen dari target Rp817 triliun. Realisasi PPh nonmigas tumbuh tahunan 15 secara tahunan. Kemudian, pajak pertambahan nilai (PPN) realisasinya baru mencapai Rp459,9 triliun atau 84,9 persen dari target Rp541,8 triliun, dengan pertumbuhan 14,1 persen secara tahunan.
Dengan demikian, realisasi PPh nonmigas dan PPN masih di bawah target meskipun meningkat dibandingkan tahun lalu.
"Itu artinya kalau kita melihat potensi dalam negeri saja sebetulnya realisasi pencapaian masih di bawah target. Tapi karena ada faktor eksternal jadi ini yang mendorong penerimaan berlebih," ujarnya.
Catatan untuk PemerintahMeskipun penerimaan negara meningkat, Bhima menyoroti pertumbuhan ekonomi dan konsumsi rumah tangga yang masih stagnan di posisi 5 persen. Menurutnya, kondisi ini sangat kontradiktif. Di satu sisi pemerintah gencar mendorong penerimaan negara terutama dari pajak, namun di sisi lain partumbuhan ekonomi dan konsumsi masyarakat tak beranjak dari level 5 persen.
"Jangan sampai penerimaan negara yang ditergetkan mau mencapai 100 persen itu kemudian mengorbankan dunia usaha atau sektor riil," kata Bhima.
Untuk itu, ia berharap pemerintah pada tahun depan dapat memberikan relaksasi terhadap target penerimaan negara, terutama dari sisi pajak. Alasannya, rasio Indonesia masih rendah yaitu 11,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang mengindikasikan bahwa basis pajak belum berkembang secara maksimal.
Sementara jika target penerimaan pajak terus digenjot, dikhawatirkan pemerintah hanya mengejar penerimaan dari pengusaha yang sudah taat pajak.
"Yang perlu dipulihkan adalah sektor rill dalam negeri, karena tahun depan tantangan makin kompleks ada Pemilu, perang dagang yang kemungkinan berlanjut, komoditas tidak bisa diprediksi sehingga sektor usaha butuh relaksasi pajak," jelasnya.
Senada, Faisal juga menilai pemerintah perlu mendorong pengembangan basis pajak untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sisi domestik. Sebab, tidak selamanya penerimaan negara mendapat keberuntungan dari faktor eksternal.
"Prosentase orang yang kepatuhannya masih kecil ini yang harus dikejar, sehingga tidak bergantung lagi kepada faktor eksternal," kata Faisal.
(agi)