BI Diproyeksi 'Tak Tertular' Kenaikan Bunga Acuan The Fed

CNN Indonesia
Kamis, 20 Des 2018 13:51 WIB
Ekonom LIPI memprediksi BI akan menahan suku bunga acuannya di level 6 persen, meskipun The Fed baru saja mengerek tingkat bunga acuannya.
Ekonom LIPI memprediksi BI akan menahan suku bunga acuannya di level 6 persen, meskipun The Fed baru saja mengerek tingkat bunga acuannya. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Agus Eko Nugroho memprediksi Bank Indonesia (BI) akan menahan suku bunga acuannya, BI 7 Days Reverse Repo Rate (7DDDR), di level 6 persen. Meskipun, bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) baru saja mengerek tingkat bunganya.

The Fed menaikkan tingkat bunganya sebesar 25 basis poin menjadi 2,25 persen - 2,5 persen. Bank sentral AS itu tercatat telah mengerek tingkat bunganya sebanyak empat kali di sepanjang tahun ini.

"Saya yakin tidak (menaikkan suku bunga). Bank Indonesia akan menahan suku bunga. Menaikkan suku bunga itu pilihan terakhir jika ada tekanan tinggi," ujarnya di Hotel Century, Jakarta, Kamis (20/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Ia melanjutkan, selama pemerintah dan bank sentral meyakini fundamental ekonomi RI masih kuat, maka kebijakan yang lebih tepat adalah menarik arus modal asing masuk (capital inflow).

Nah, untuk mendorong arus modal masuk ke dalam negeri, menurut Agus, perlu insentif dan kebijakan yang menjawab kebutuhan investor. Selain itu, pemerintah tentunya harus konsisten dalam merealisasikan insentif dan kebijakan tersebut.

"Jadi, menurut saya, lebih kepada stimulus," katanya.


Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede juga memproyeksi hal serupa. Yakni, BI menahan suku bunga acuan pada RDG bulan ini. "Ini mempertimbangkan perkembangan terkini dan ekspektasi perbaikan transaksi berjalan, serta stabilnya nilai tukar rupiah," jelasnya kepada CNNIndonesia.com.

Lebih lanjut ia memprediksi pertumbuhan ekonomi global ke depan tidak akan merata. Bahkan, pertumbuhan negara-negara maju, seperti AS, Jepang, dan negara-negara di kawasan Uni Eropa justru diperkirakan melambat pada 2019 nanti.

"Hal itu turut memengaruhi pergerakan volume perdagangan global yang selanjutnya membuat beberapa harga komoditas global terkoreksi dalam beberapa waktu terakhir ini," terang Josua.


Turunnya harga komoditas, khususnya harga minyak dunia yang saat ini di bawah level US$50 per barel memberi ruang penguatan terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.

Saat ini, mata uang Garuda melaju di kisaran Rp14.400-Rp14.550 per dolar AS. Tingkat inflasi juga disebut terkendali sekitar 3,5 plus minus 1 persen pada tahun ini dan tahun depan.

"Stance kebijakan moneter yang ketat diperkirakan masih bertahan hingga tahun depan, khususnya mengantipasi potensi risiko global secara khusus dari kebijakan tarif impor AS terhadap produk China yang masih akan berlangsung hingga tahun depan," tutur Josua.


Tahun ini, BI tercatat telah mengerek tingkat suku bunga acuan sebanyak enam kali dengan total kenaikan 175 bps. Pada RDG November lalu, bank sentral menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bos menjadi 6 persen. (ulf/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER