Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Menteri Keuangan
Chatib Basri memproyeksi pasar
keuangan akan menuai berkah di tahun ini. Sebaliknya,
sektor riil justru dinilai cenderung lesu.
"Tahun ini, tahun yang tidak mudah untuk pelaku yang ada di sektor riil, tapi yang ada di sektor keuangan itu akan happy (bahagia)," kata Chatib di Hotel Mulia, Kamis (17/1).
Ia menjelaskan tahun ini bank sentral Amerika Serikat (AS),
The Fed, diramal bakal lebih 'kalem' dalam menaikkan tingkat suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR). Diprediksi, The Fed hanya akan menaikkan satu kali sebesar 25 basis poin (bps) atau maksimum dua kali sampai dengan April 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
The Fed sendiri sudah menaikkan suku bunga sebanyak empat kali pada tahun lalu, sehingga saat ini FFR berada ada di posisi 2,25-2,5 persen.
Imbas positifnya, lanjut Chatib, arus modal akan kembali membanjiri pasar negara berkembang (emerging market) termasuk Indonesia. Kembalinya aliran modal asing tersebut diyakini akan menguatkan nilai tukar rupiah.
"Saya tidak heran rupiah akan bertahan bahkan bisa lebih kuat," kata Chatib.
Oleh karena itu, ia menilai saat ini merupakan waktu emas untuk memanfaatkan arus balik modal asing lewat investasi di portofolio. Misalnya, saham, reksa dana, dan sebagainya.
Namun demikian, investor harus berhati-hati lantaran The Fed dipastikan suatu hari akan menaikkan tingkat suku bunga acuannya. Dengan pertimbangan, rendahnya tingkat pengangguran di AS, yaitu di bawah 4 persen. Sementara itu, tingkat upah melambung.
"Jadi, saat ini adalah saatnya berpesta sebelum pesta selesai dan datang polisi. Polisinya, yaitu The Fed, suatu hari harus menaikkan bunga," jelasnya.
Sementara itu, Chatib mengaku kurang optimistis dengan pertumbuhan sektor riil tahun ini. Alasannya, Bank Indonesia (BI) tidak memiliki banyak ruang untuk menurunkan tingkat suku bunga acuan karena Indonesia masih mengalami defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD).
Selain itu, penurunan harga komoditas, seperti batu bara, minyak mentah, dan kelapa sawit (CPO) membuat penerimaan negara diprediksi berkurang.
"Penerimaan negara pasti akan kena, defisit akan naik, sehingga ruang untuk ekspansi fiskal tidak akan terlalu banyak. Jadi, dari sisi moneter dan fiskal akan tight (ketat) dan harga komoditas turun," tukasnya.
(ulf/bir)