Jakarta, CNN Indonesia -- Biro Statistik Nasional (NBS)
China mencatat pertumbuhan populasi melambat pada tahun lalu. Hal ini meningkatkan kekhawatiran perlambatan
ekonomi China berlanjut lantaran jumlah usia tua atau usia non-produktif kian menumpuk.
Mengutip
Reuters, Senin (21/1), NBS China melansir 15,23 juta kelahiran hingga akhir tahun lalu. Angka ini lebih rendah ketimbang tahun sebelumnya, yakni sekitar 2 juta.
Dengan jumlah kematian sebanyak 9,93 juta, berarti tingkat pertumbuhan populasi tahun lalu cuma 0,00381. Realisasi ini lebih rendah dibanding 2017 lalu, yaitu 0,00532.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komisaris NBS Ning Jize mengatakan China telah melewati masa puncak pertumbuhan populasi. Namun demikian, negara dengan ekonomi kedua terbesar di dunia itu disebut masih memiliki potensi besar dalam hal populasi.
"Tingkat partisipasi tenaga kerja China tidak rendah. Lebih dari 700 juta dari 900 juta orang kami (usia kerja) masih bekerja dan masih ada ruang pertumbuhan," imbuh Jize.
Tanda-tanda penurunan pertumbuhan populasi China muncul saat otoritas lokal merilis data yang menunjukkan tingkat kelahiran yang signifikan pada tahun lalu. Di Qingdao, misalnya, sebuah kota di Provinsi Shandong Timur, tingkat kelahirannya turun 21 persen pada Januari - November 2018 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Namun demikian, secara keseluruhan, total populasi China masih mencatat kenaikan 5,3 juta pada tahun lalu menjadi 1,39 miliar jiwa. Ini berarti, China masih mempertahankan gelarnya sebagai negara terpadat di dunia.
Beberapa dekade ke belakang, China memang membatasi pertumbuhan populasi dengan menerapkan kebijakan satu keluarga satu anak. Namun, pada 2016 lalu, kebijakan ini dilonggarkan. Kini, Pemerintah China mengizinkan satu keluarga memiliki dua anak.
Alasannya, kekhawatiran jumlah tenaga kerja menyusut. Pasalnya, NBS melansir jumlah tenaga kerja China turun 4,7 juta pada 2017 lalu dan diperkirakan tren penurunan bakal berlanjut hingga 23 persen pada 2050 mendatang.
(afp/bir)