Jakarta, CNN Indonesia -- Persoalan
defisit anggaran masih membelit Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (
BPJS) Kesehatan. Hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (
BPKP) menyatakan defisit anggaran BPJS Kesehatan dapat mencapai Rp10,98 triliun pada akhir tahun lalu.
Penyakit tersebut membuat pemerintah dan manajemen BPJS Kesehatan memutar otak. Maklum, kalau terus dibiarkan, penyakit defisit keuangan dikhawatirkan akan mengganggu layanan kesehatan bagi masyarakat.
Pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan banyak kebijakan, seperti memberikan suntikan modal hingga menggunakan pajak rokok dan memanfaatkan dana cukai hasil tembakau agar masalah defisit BPJS bisa diatasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terbaru, pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan berencana memberlakukan kebijakan urun biaya kepada masyarakat dalam membayar tagihan rumah sakit. Kebijakan ini diberlakukan terhadap jenis pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Dengan kebijakan tersebut, fasilitas BPJS Kesehatan tidak lagi sepenuhnya memberikan layanan gratis. Jenis pelayanan kesehatan yang masuk dalam kategori dapat dilakukan urun biaya saat ini masih digodok oleh BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Jika dirinci, urun biaya terdiri dari dua jenis, yakni; rawat inap dan jalan. Untuk rawat jalan, besaran urun biaya dimulai dari Rp10 ribu-Rp350 ribu. Rinciannya, peserta kelas rumah sakit kelas A dan kelas B sebesar Rp20 ribu per sekali kunjungan dan rumah sakit kelas C dan D akan dipatok biaya Rp10 ribu.
Kemudian, masyarakat yang berobat di klinik utama dikenakan paling tinggi Rp350 ribu untuk 20 kali kunjungan dalam tiga bulan. Sementara, peserta BPJS Kesehatan yang melakukan rawat inap akan terkena biaya lebih 10 persen dari total pelayanan. BPJS Kesehatan menentukan batas atas urun biaya sebesar Rp30 juta untuk rawat inap.
Namun, Koordinator Divisi Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai langkah tersebut belum menjadi solusi jitu untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan. Paling banter, kebijakan ini hanya akan mengurangi defisit.
Untuk penerapan kebijakan urun biaya, Timboel menyatakan perkiraan efektifitas kebijakan tersebut didasarkannya pada penerapan kebijakan urun biaya di Malaysia dan Thailand. Timboel mengatakan masalah defisit BPJS Kesehatan berpangkal dari minimnya penerimaan iuran.
Penerimaan iuran sampai saat ini tidak bisa mengimbangi besaran klaim dari rumah sakit atas pelayanan yang mereka sudah berikan ke masyarakat. Tak heran, sejak beralih dari PT Asuransi Kesehatan (Persero) pada 2014 lalu, defisit selalu membebani keuangan BPJS Kesehatan dan terus membengkak.
Pada 2014, defisit BPJS Kesehatan hanya Rp3,3 triliun. Selang setahun, desifit membengkak menjadi Rp5,7 triliun. Kemudian, pada 2016, defisit tercatat Rp9,7 triliun dan pada 2017 defisitnya mencapai Rp9,75 triliun.
Untuk mengatasinya, pemerintah sampai harus mengguyur bantuan langsung kepada BPJS Kesehatan. Sesuai audit BPKP Tahap II, pemerintah menyuntikkan sebesar Rp5,2 triliun untuk menangani defisit BPJS Kesehatan setelah sebelumnya menyuntikkan Rp4,99 triliun.
Untuk menyelesaikan persoalan defisit secara berkelanjutan, menurut Timboel, BPJS Kesehatan dan pemerintah tetap harus menyelesaikan masalah utama pemicu defisit. Masalah berkaitan dengan iuran yang perlu diimbangi juga dengan mengerek jumlah kepesertaan. Sesuai Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), iuran merupakan penopang utama dari pendapatan BPJS Kesehatan.
Timboel mengatakan saat ini, besaran iuran peserta BPJS Kesehatan masih di bawah nilai kewajarannya. Pasalnya, untuk iuran peserta BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI) kelas III atau golongan masyarakat miskin iuran hanya dipatok Rp23 ribu per peserta per bulan.
Padahal, berdasarkan kajian BPJS Watch nilai wajar iuran untuk golongan tersebut harusnya Rp36 ribu per peserta per bulan. Pada 2018, besaran iuran tidak ada kenaikan. Padahal, besaran iuran harusnya ditinjau setiap dua tahun sekali.
Menurut perhitungan Timboel, jika BPJS Kesehatan mampu meningkatkan besaran iuran menjadi Rp36 ribu saja dengan sekitar 120 juta peserta, BPJS bisa mendapatkan pemasukan Rp16 triliun per tahun .
"Tetapi APBN kan tidak mampu," ujarnya.
Karena ketidakmampuan tersebut, Timboel usul iuran dinaikkan menjadi Rp30 ribu. Dengan kenaikan itu, penerimaan BPJS akan bertambah sekitar Rp10 trilun hingga Rp11 triliun.
"Kalau iuran dinaikkan menjadi Rp30 ribu per peserta per bulan. Defisit bisa hanya sekitar Rp2 triliun hingga Rp3 triliun per tahun," ujarnya.
Timboel menyadari kebijakan menyesuaikan iuran tidak mudah diambil oleh pemerintahan Presiden Jokowi di tahun politik seperti sekarang ini. Namun, pil pahit memang harus ditelan jika BPJS Kesehatan ingin sembuh dari penyakit defisit.
Timboel mengatakan agar kenaikan tarif bisa diterima masyarakat, pemerintah perlu juga memperbaiki kualitas pelayanan yang berkualitas. Perbaikan kualitas layanan akan membuat masyarakat suka rela untuk merogoh kocek lebih dalam untuk membayar iuran BPJS Kesehatan.
Terlebih, jika tanpa layanan BPJS Kesehatan, besaran biaya berobat yang ditanggung masyarakat bisa selangit. Langkah mengerek iuran juga perlu dibarengi dengan upaya untuk mengurangi tunggakan iuran peserta yang per tahun bisa mencapai Rp3,2 triliun.
Timboel mengatakan mengatasi tunggakan iuran bisa dilakukan dengan memberlakukan sanksi administratif kepada para penunggak. Penunggak bisa dicabut hak untuk mendapatkan sejumlah pelayanan publik.
Pencabutan hak tersebut sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
Kebijakan urun biaya sendiri menurut Timboel sebenarnya bisa menjadi pelengkap jika memang jumlah kepesertaan tak mencukupi untuk saling menanggung seusia prinsip asuransi sosial. Malaysia dan Thailand misalnya, perlu menggunakan skema urun biaya karena penduduknya sedikit. Sementara, Indonesia dari sisi kepesertaan sudah besar.
Skema urun biaya disebut Timboel juga tidak dilakukan oleh negara Skandinavia yang memungut pajak tinggi. Pasalnya, iuran dan klaim bisa sepenuhnya ditanggung oleh negara.
"Jika iuran mencukupi, urun biaya sebenarnya tidak perlu. Terlebih Indonesia memiliki penduduk yang besar," ujarnya.
Sementara, Pengamat Asurasi Irvan Rahardjo menilai kebijakan urun biaya sebenarnya merupakan praktik yang wajar dilakukan oleh program jaminan kesehatan di dunia seperti di Amerika Serikat.
Dengan skema urun biaya, menurut Irvan, BPJS Kesehatan dapat mengurangi
moral hazard dari peserta, terutama peserta mandiri, yang hanya membayar iuran pada saat terjangkit penyakit katastropik. "Ini untuk mengurangi
moral hazard peserta yang kalau sakit baru ikut BPJS, setelah sembuh tak lagi membayar iuran," ujarnya.
Kendati demikian, senada dengan Timboel, solusi yang lebih berkelanjutan untuk mengatasi defisit adalah menaikkan premi iuran dan kepesertaan, terutama dari Peserta Penerima Upah (PPU). Selain itu, BPJS Kesehatan juga bisa mendapatkan pemasukan dari penerimaan cukai rokok untuk menambal defisit.
Sementara, solusi kenaikan iuran kepesertaan nampaknya tidak bisa dilakukan saat ini. Wakil Presiden Jusuf kalla pernah menyebut masalah besaran iuran BPJS Kesehatan baru akan dievaluasi setelah pemilihan presden demi menghindari kegaduhan politik.
Untuk itu, senada dengan Timboel, Irvan menyebut solusi yang lebih berkelanjutan untuk mengatasi defisit adalah menaikkan premi iuran dan kepesertaan, terutama dari Peserta Penerima Upah (PPU). Selain itu, BPJS Kesehatan juga bisa mendapatkan pemasukan dari penerimaan cukai rokok untuk menambal defisit.
"Memang harus bauran kebijakan sekaligus untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan," pungkasnya.
(agt)