Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan
Sri Mulyani Indrawati berharap aturan terkait kebijakan penambahan faktor pengurang
Pajak Penghasilan (
PPh) sebesar 200 persen (
super tax deduction) bagi perusahaan yang mengedepankan riset dan pengembangan bisa terbit pada Maret mendatang. Saat ini, menurut Sri Mulyani, aturan tersebut secara substansi sudah rampung.
Beleid ini memang dikebut karena Presiden Joko Wudodo juga sudah meminta aturan ini diselesaikan. Tak hanya aturan bagi perusahaan yang mengedepankan R&D, rencananya aturan serupa juga akan diberlakukan bagi perusahaan yang mau membuka pelatihan vokasi.
"Antara pajak super deduction untuk vokasi dan juga super deduction untuk riset and development itu semua formulasinya sudah selesai. Pokoknya prosesnya bisa segera selesai, dan semoga bisa selesai Maret ini," papar Sri Mulyani, Selasa (19/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia melanjutkan, kelancaran penyusunan beleid ini sejatinya harus didukung oleh instansi lain, utamanya Kementerian Perindustrian. Jika harmonisasi peraturan yang dilakukan Kemenperin juga bisa cepat, seharusnya aturan ini bisa segera meluncur.
"Dan kami yakinkan bahwa aturan ini dipercepat bukan karena mau mendekati pemilihan umum, tapi penerbitan aturan ini sudah on the pipeline sejak akhir tahun lalu," ungkap dia.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasi Nazara mengatakan secara substansi, aturan super tax deduction ini serupa dengan kebijakan tax allowance. Berdasarkan pasal 31A Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, tax allowance merupakan kebijakan fasilitas pajak yang diberikan dalam bentuk pengurangan penghasilan kena pajak yang dihitung berdasarkan jumlah investasi.
Namun, penambahan unsur faktor pengurang pajak tentu tak bisa dilakukan secara gegabah. Dengan nilai faktor pengurang pajak yang mencapai 200 persen dari nilai investasi, tentu pemerintah harus mengkonstruksi unsur-unsur pengurang pajak yang bisa "dimanipulasi" oleh pemerintah.
Adapun faktor yang bisa mengurangi Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah jumlah beban operasional perusahaan dalam satu tahun buku, sehingga faktor itulah yang akan "dimanipulasi" pemerintah.
Agar hal itu bisa berjalan, maka pemerintah tentu juga harus mengubah satu Peraturan Pemerintah (PP) agar ruang implementasi kebijakan ini bisa terbuka lebar. Tapi, ia mengaku tidak ingat, PP apa yang sedianya perlu direvisi.
"Ini kan ibaratnya pemerintah seolah-olah menambahkan 'biaya' bagi perusahaan, agar Penghasilan Kena Pajak (PKP) perusahaan bisa berkurang. Nah, itu tidak bisa ngasal. Komponen biaya-biaya ini harus dilihat dulu. Kami akan lihat lagi supaya tidak menabrak dengan UU yang berlaku," jelas dia.
(glh/agi)