Jakarta, CNN Indonesia -- Awan kelam kembali menyelimuti dunia penerbangan. Tepat pada Minggu (10/3) lalu, pesawat milik
Maskapai Ethiopian Airlines yang sedianya bertolak dari Addis Ababa,
Ethiopia menuju Nairobi, Kenya mengalami nasib nahas. Burung besi dengan nomor penerbangan ET 302 itu jatuh beberapa menit setelah lepas landas yang berlokasi sejauh 40 km mil tenggara Addis Ababa.
Kejadian itu sontak mengingatkan masyarakat, terutama pelaku industri penerbangan Indonesia, dengan peristiwa serupa yang terjadi di perairan Jawa pada Oktober 2018 lalu. Pasalnya, pesawat yang membawa 149 penumpang di Ethiopia itu berasal dari pabrikan yang sama dengan pesawat yang jatuh di Indonesia, yakni tipe Boeing 737-8 Max.
Kementerian Perhubungan seketika merespons peristiwa tersebut. Tak ingin kejadian maut terulang lagi, otoritas melarang maskapai menerbangkan pesawat (
temporary grounded) jenis Boeing 737-8 Max tersebut selama sepekan sejak Selasa (12/3). Pemerintah juga memeriksa dan mengevaluasi ulang pesawat tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk memastikan kondisi pesawat jenis tersebut laik terbang (airworthy) dan langkah tersebut telah disetujui oleh Menteri Perhubungan" jelas Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Polana B. Pramesti.
Kemenhub mengaku sudah memantau ketat operasional Boeing 737 8-MAX sejak 30 Oktober 2018 kemarin. Kemenhub juga telah meminta kejelasan dari Boeing Co selaku perusahaan manufaktur terkait kelanjutan dari insiden Ethiopian Airlines.
Tak hanya Indonesia, ternyata China dan Singapura juga melakukan hal serupa. Dalam perkembangan terakhir, negara-negara anggota Uni Eropa bahkan juga ikut melarang pesawat setipe untuk terbang di wilayahnya.
Boeing 737 8-MAX merupakan satu dari serangkaian Boeing seri MAX yang terdiri dari 7 MAX hingga 9 MAX. Rencananya, Boeing dalam waktu dekat akan meluncurkan Boeing 737 10-MAX
Dikutip dari situs resmi Boeing, pesawat seri 737 MAX dirancang untuk penerbangan jauh namun mengedepankan efisiensi bahan bakar. Jangkauan terbang bahkan mencapai 6.570 kilometer (km) sekali jalan. Tak heran, Seri MAX merupakan salah satu pesawat Boeing dengan pesanan terbanyak. Hingga kini, Boeing mendapat pesanan sebanyak 4.699 pesanan, dan belum terkirim.
Saat ini, pesawat Boeing 737 8-MAX dioperasikan oleh dua maskapai, yakni PT Lion Mentari Airlines (Lion Air) dan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Saat ini, Lion Air memiliki 10 unit Boeing 737 8-MAX, sedangkan Garuda mengoperasikan satu unit pesawat tersebut.
Hanya saja, penghentian sementara ini menimbulkan isu bahwa operasional dua maskapai ini akan terganggu dalam sepekan. Namun, hal itu dibantah kedua maskapai yang memastikan operasionalnya tidak akan bermasalah.
Managing Director Lion Air Group Daniel Putut Kuncoro mengatakan larangan penggunaan pesawat tersebut tidak berdampak signifikan terhadap operasional. Pasalnya, saat ini pengguna penerbangan tengah memasuki masa-masa sepi (
low season), sehingga maskapai juga sudah menyiapkan pesawat pengganti jenis lain.
Pesawat Boeing 737-8 Max yang biasanya digunakan untuk tujuan internasional akan diganti oleh pesawat yang sudah disiapkan (standby). Sementara itu, pesawat yang digunakan untuk tujuan Timur Tengah dan China akan diganti oleh jenis pesawat berbadan lebar (
wide body).
"Jangan sampai ada satu hal yang paling kecil pun terjadi dengan pesawat, tipe max ini khususnya. Jadi kami support kebijakan dirjen udara untuk meng-
grounded, dan langsung semua pesawat max kita istirahatkan," kata Daniel.
Sementara itu, VP Corporate Secretary Garuda Indonesia M Ikhsan Rosan mengatakan pelarangan sementara pesawat Boeing 737-8 MAX juga tidak akan mempengaruhi operasional penerbangan pelat merah itu. Sebab, jumlah pesawat yang dimiliki Garuda Indonesia pun hanya satu. Itu pun, hanya melayani rute Jakarta-Singapura saja.
"(Boeing 737-8 Max) Tidak banyak melayani rute dan tidak mempengaruhi operasional kami," ujar Ikhsan.
Ungkapan maskapai juga diamini oleh otoritas bandara. PT Angkasa Pura I (Persero) selaku pengelola 13 bandara di seluruh Indonesia mengaku tidak ada perubahan signifikan pada hari pertama pemberlakuan
temporary grounded tersebut.
 (Reuters). |
Sekretaris Perusahaan AP I Handy Heryudhitiawan mengatakan
temporary grounded tidak serta merta mempengaruhi pergerakan pesawat di bandara kelolaannya, karena jumlah Boeing 737-8 Max hanya sedikit. Sementara itu, AP I mengelola ratusan pesawat dari dalam dan luar negeri setiap hari. Hanya saja, Handy mengaku tidak ingat jumlah pasti penerbangan yang dilayani AP I per harinya.
"Dalam kacamata kami, operasi Lion Air dan Garuda Indonesia tidak terpengaruh besar atas grounded tersebut disebabkan mereka operasionalkan ratusan pesawat lainnya selain yg di-grounded. Terlebih mereka adalah group, sehingga ada alternatif operasi lain yang bisa dijadikan solusi atas grounded itu," ujar Handy.
Ia juga menyebut temporary grounded adalah kebijakan otoritas penerbangan yang tentu harus dipatuhi oleh seluruh pihak. "Kami selaku operator bandara hanya memberikan fasilitas layanan terhadap semua pesawat yang beroperasi di bandara," imbuhnya.
Senada, PT Angkasa Pura II (Persero) yang mengelola 13 bandara juga mengatakan hal serupa. "Sejauh ini kami pantau aktivitas masih normal," jelas Vice President Corporate Communication AP II Yado Yarismano.
Melihat kondisi operasional maskapai, Pengamat Penerbangan Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati menilai keputusan untuk melakukan temporary grounded pesawat Boeing 737-8 Max adalah langkah yang tepat. Pemeriksaan terhadap kelaikan pesawat ini harus diperketat, jangan sampai nantinya timbul korban lagi untuk kesekian kalinya.
Selain itu, menurut dia, jangka waktu sepekan untuk melakukan inspeksi juga dianggap cukup optimal. Sebab, jumlah pesawat yang diinspeksi pun hanya berjumlah 11 unit, dan titik inspeksi ialah perangkat lunak (
software) yang berada di tubuh pesawat.
"Seharusnya seminggu ini cukup kok, pesawat Boeing 737-8 MAX ini hanya berjumlah 11 dan hanya akan dilihat mungkin satu atau dua instrumen yang memang dirasa bermasalah, tapi bukan skala besar," jelas Arista.
Namun, ia meminta Kemenhub untuk tidak menyia-nyiakan waktu tersebut. Menurut dia, waktu sepakan jangan hanya dilakukan untuk memeriksa satu komponen saja, tetapi juga beberapa tes teknis lain, seperti riwayat perawatan (
maintenance) serta riwayat penggunaan pesawat. Kemenhub juga harus memastikan bahwa suku cadang (
spare part) yang digunakan maskapai juga berkualitas baik.
[Gambas:Video CNN]
Menurut dia,
temporary grounded untuk pesawat sebenarnya hal lazim di industri penerbangan. Namun, kali ini jumlahnya mencapai dua digit dan melibatkan lebih dari satu maskapai. Dengan demikian, waktu yang ada harus dimanfaatkan dengan baik.
"Jadi memang waktu sepekan harus dimanfaatkan dengan baik. Jika inspeksi dilakukan lebih lama, maka operasional maskapai bisa terganggu dalam jangka panjang," imbuh dia.
(lav)