Jakarta, CNN Indonesia -- Lantang suara Calon Presiden
Prabowo Subianto bergema dalam Dialog Silaturahmi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dengan Komunitas Kesehatan 28 Februari lalu. Suara lantang ia sampaikan terkait kondisi keuangan
BPJS Kesehatan.
Maklum, saat berpidato, kondisi keuangan
BPJS Kesehatan memang sedang sakit. Pada 2019 ini, lembaga tersebut sudah memproyeksikan kondisi keuangan mereka akan berdarah-darah karena akan mengalami defisit sampai dengan Rp16,5 triliun.
Sebelum berteriak keras,
Prabowo awal tahun lalu memang menyoroti defisit keuangan yang melanda
BPJS Kesehatan. Defisit telah '
menghancurkan' pelayanan Program Jaminan Kesehatan Nasional (
JKN) yang dilaksanakan oleh
BPJS Kesehatan. Pelayanan katanya, kian asal-asalan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan menurut laporan yang ia terima, defisit telah membuat selang untuk pengobatan penderita ginjal yang harusnya dipakai sekali, digunakan berkali-kali. Prabowo mengatakan masalah tersebut cukup serius.
Prabowo berjanji, kalau terpilih ia akan mengatasi masalah tersebut. Ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi masalah tersebut; menutup kebocoran kekayaan negara yang menurut perkiraannya mencapai Rp1.000 triliun.
"Defisit, kalau tidak salah Rp20 triliun. Kalau saya pimpin (Indonesia), saya anggap itu masalah kecil. Kenapa, karena saya perhitungkan kebocoran bangsa ini lebih dari Rp1.000 triliun," katanya saat itu dengan meyakinkan.
Sementara itu kalau melihat visi misi Prabowo-Sandiaga, agar masalah defisit keuangan BPJS Kesehatan tak terus berlanjut, pasangan tersebut juga akan berupaya menggenjot peningkatan kepesertaan Program JKN.
Program tersebut sebenarnya tak jauh beda dengan yang dijanjikan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-Ma'ruf Amin. Dalam visi misi mereka Jokowi-Ma'ruf berjanji akan memperbaiki pelaksanaan Program JKN agar akses masyarakat untuk mendapatkan bantuan kesehatan terus membaik. Perbaikan akan dilakukan dengan meningkatkan jumlah peserta dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan BPJS Kesehatan.
[Gambas:Video CNN]
Koordinator Divisi Advokasi
BPJS Watch
Timboel Siregar mengatakan visi misi yang digagas oleh kedua
paslon ini
sejatinya saling melengkapi. Visi misi tersebut tidak bisa berdiri sendiri. Misalnya, meningkatkan jumlah peserta memang perlu dilakukan agar rakyat juga lebih sejahtera.
Selain itu,
BPJS Kesehatan juga berpotensi mendapatkan iuran tambahan dari posisi sekarang. Namun, hal itu akan menjadi percuma jika keuangan
BPJS Kesehatan masih saja berdarah-darah. Diketahui, pada 2014
BPJS Kesehatan menderita defisit sebesar Rp3,3 triliun, lalu pada 2015 jumlahnya kian membesar menjadi Rp5,7 triliun.
Selanjutnya, pada 2016 defisit yang harus ditanggung
BPJS Kesehatan sebesar Rp9,7 triliun dan 2017 sebesar Rp9,75 triliun. Terakhir, atas audit yang dilakukan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (
BPKP) terhadap keuangan
BPJS pada 2018 jumlah defisit kembali melebar menjadi Rp10,98 triliun.
"Kalau tidak didukung dengan pembiayaan atau finansial
BPJS Kesehatan, ya kondisi seperti sekarang masalah tunggakan rumah sakit yang belum dibayar masih akan terjadi," papar
Timboel kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (13/3).
Berdasarkan catatannya, utang
BPJS Kesehatan kepada rumah sakit yang sudah jatuh tempo pada akhir 2018 sebesar Rp10,6 triliun. Sementara, utang yang belum masa jatuh tempo hingga kini sebesar Rp4,45 triliun.
Timboel menjelaskan biaya yang harus dikeluarkan
BPJS Kesehatan tentu semakin banyak bila jumlah peserta bertambah. Bila tidak dibarengi dengan kesehatan keuangan perusahaan, dampaknya justru merugikan masyarakat.
"Kan bisa saja nanti pelayanan diturunkan, misalnya obat berkurang di rumah sakit itu," terang
Timboel.
Selain pembenahan keuangan, fasilitas kesehatan (
faskes) untuk peserta
BPJS Kesehatan juga harus ditambah. Salah satunya dengan menambah rumah sakit yang mau bekerja sama.
"Kalau peserta meningkat kan utilitas meningkat, kalau
faskes tidak ditambah ya terjadi antrean seperti sekarang," katanya.
Jumlah rumah sakit di Indonesia, sambungnya, mencapai 2.800 unit. Namun, jumlah mitra rumah sakit
BPJS Kesehatan tak sampai 2.500 unit.
Mengutip data
BPJS Kesehatan, rumah sakit yang melayani peserta
JKN-
KIS hanya 2.249 unit. Selain itu, ada 9.955
puskesmas, 5.286 dokter
praktik perorangan, klinik
pratama sebanyak 6.569, dokter gigi 1.185, klinik utama 239, lalu 29 rumah sakit kelas D
Pratama, dan 1.079 optik. Total
faskes sejauh ini sebanyak 27.211.
"Makanya ini semua tuh berkesinambungan. Jangan egois, jangan saling kritik untuk sektor kesehatan. Ini harus dibangun bersama," ungkap
Timboel.
Lebih lanjut ia menjelaskan untuk memperbaiki defisit,
Prabowo-
Sandiaga harus memikirkan betul skema apa yang harus dilakukan. Perbaikan defisit keuangan tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Misalnya,
Prabowo-Sandi akan mengerek iuran peserta
BPJS Kesehatan. Mereka perlu menghitung secara jeli agar tak mengundang kegaduhan di masyarakat.
Saat ini, peserta peserta kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (
PBPU) dan peserta bukan pekerja yang memilih kelas I akan dikenakan iuran sebesar Rp80 ribu per bulan, kelas II sebesar Rp51 ribu per bulan, dan kelas III sebesar Rp25.500 per bulan. Sementara, untuk peserta dengan kategori Penerima Bantuan Iuran (
PBI) ditangguh oleh pemerintah.
Kemudian, layanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (
FKTP) juga harus diperbaiki. Hal ini agar mengurangi jumlah peserta yang dirujuk ke rumah sakit, sehingga biaya pelayanan yang dikeluarkan
BPJS Kesehatan bisa berkurang.
"Jadi bagaimana ceritanya penyakit cukup disembuhkan di klinik saja, tidak sampai ke rumah sakit," tutur
Timboel.
Setali tiga uang, Kepala Humas
BPJS Kesehatan
Iqbal Anas Ma'ruf menilai penambahan jumlah peserta, meningkatkan kualitas
faskes, dan memperbaiki defisit keuangan merupakan upaya-upaya yang harus dilakukan untuk memajukan program
JKN di dalam negeri.
"Semua saling terkait dimulai dari kepastian jumlah
kepesertaan, kepatuhan membayar iuran, sistem kesehatan nasional yang mengakomodir sistem rujukan berjenjang untuk memastikan pembiayaan efektif dan efisien, tata kelola obat dan alat kesehatan," papar
Iqbal.
Ia menegaskan persoalan
BPJS Kesehatan bisa diselesaikan dengan komitmen yang kuat dari pemerintah, misalnya dengan menegakkan seluruh regulasi yang sudah dibentuk. Selain itu, pemerintah pusat juga harus mengajak pemerintah daerah untuk menata sarana dan prasarana kesehatan di wilayah masing-masing.
"Edukasi kepada masyarakat menjadi poin penting yang harus dijaga
konsistensinya, termasuk menjaga kesehatan lingkungan yang berperan besar terhadap kesehatan masyarakat," ungkap
Iqbal.
Di sisi lain, Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal berpendapat hal utama untuk membenahi program
JKN-
KIS adalah memperbaiki masalah defisit keuangan
BPJS Kesehatan. Masalahnya, kelangsungan pelayanan peserta sangat tergantung dengan kemampuan bayar
BPJS Kesehatan.
"Kan ini ada beban permintaan dan penawaran. Nah ini semua bergantung pada pendanaan," ucap Faisal.
Kemudian,
BPJS Kesehatan juga bisa leluasa meningkatkan kualitas
pelayanannya tanpa harus menambah utang. Makanya, perlu ada upaya untuk menaikkan iuran peserta mandiri.
"Mungkin iuran yang kelas paling mahal bisa
dinaikkan, jadinya bisa untuk subsidi level-level di bawahnya. Tapi itu kaji lagi sih," ucap Faisal.
Untuk mengingatkan, Presiden
Jokowi sebenarnya sudah meneken peraturan presiden (
perpres) baru soal pemanfaatan pajak rokok dari daerah untuk menutup defisit keuangan
BPJS Kesehatan. Mekanismenya, 50 persen penerimaan pajak rokok daerah sebanyak 75
persennya akan dialokasikan untuk program
JKN.
Hal itu tertuang dalam
Perpres No 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid itu merupakan merupakan perubahan atas
Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional.
Sementara, Anggota Tim Ekonomi, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi Badan Pemenangan Nasional (
BPN)
Harryadin Mahardika berpendapat keputusan itu mengartikan bahwa pemerintah terlalu bergantung pada cukai rokok. Hal itu dinilai memalukan.
"Ini langkah yang memalukan, kontradiktif sekali membayar defisit
BPJS dengan cukai rokok," kata
Haryadin.
Faisal pun sependapat dengan kubu
Prabowo-
Sandiaga. Sebab, penerapan cukai dilakukan dengan tujuan mengurangi konsumsi rokok di Indonesia.
Bila cukai dijadikan tumpuan bagi
BPJS Kesehatan, kata Faisal, yang terjadi bisa saja bukan pengurangan penjualan rokok tapi pemerintah mendorong industri tersebut. Ia kekeh subsidi iuran dari peserta
BPJS Kesehatan kelas yang paling tinggi masih menjadi solusi yang terbaik mengatasi defisit.
"Karena cukai jangan jadi diubah fungsinya, cukai kan alat kendali bukan penyumbang pendapatan negara. Bukan untuk didorong. Nanti malah salah tujuan,"
ucapnya.
(agt)