Jakarta, CNN Indonesia -- Konflik Indonesia dengan
Uni Eropa terkait larangan penggunaan
sawit dalam bahan bakar nabati (BBN) berbuntut panjang. Setelah rancangan
Delegated Regulation Supplementing Directive of The UE Renewable Energy Directive (RED) II, kini giliran RI yang mengancam mem-
boikot produk-produk dari benua biru.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan akan mempertimbangkan beberapa kebijakan. "Kami tidak mau didikte. Kami harus tegas," ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga membuka opsi tindakan balasan terhadap produk impor dari Uni Eropa. Namun sebelumnya, ia ingin pemerintah terlebih dahulu membawa masalah sawit ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bisa saja retaliasi (tindakan balasan). Memangnya kenapa? Kalau dia sepihak, masa kita tidak bisa sepihak," tegas dia.
Namun demikian, balas-membalas ini dinilai bukan jawaban atas persoalan sawit yang tengah didengungkan Uni Eropa untuk disetop penggunaannya. Ekonom UI Fithra Faisal Hastiadi menyebut membalas dengan mengancam tidak akan menyelesaikan masalah. Ini justru akan memperbesar masalah.
Menurut dia, pemerintah hendaknya mempertimbangkan kondisi ekonomi global yang tengah dirundung ketidakpastian. Fakta bahwa tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China belum sepenuhnya mereda, memaksa Indonesia harus mencari pangsa pasar non tradisional.
Berdasarkan hasil kajian Lembaga Penelitian Ekonomi Manajemen UI, Uni Eropa adalah salah satu kawasan yang bisa menjadi alternatif pasar baru, lantaran potensi pasarnya belum dimanfaatkan secara maksimal.
Oleh karenanya, ia menyarankan agar pemerintah menghindari segala konflik dengan Uni Eropa serta menempuh jalur perundingan maupun negosiasi dalam penyelesaiaan sengketa kelapa sawit.
"Pada kondisi sekarang, saya lebih menyarankan penyelesaian informal, karena tegas itu juga harus ada ukurannya. Boleh tegas, tetapi apa yang bisa kita dapat dari ketegasan itu. Jangan asal main ancam, padahal ini masalahnya cukup pelik," katanya kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (22/3).
Alih-alih mengancam Uni Eropa, ia menilai langkah itu bisa menjadi ancaman balik bagi Indonesia. Alasannya, saat ini RI dan Uni Eropa tengah melakukan perundingan perdagangan komprehensif Indonesia-European
Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA). Salah-salah bersikap, pemerintah akan terkendala merancang perjanjian yang lebih komprehensif.
Selain itu, Indonesia sebagai negara berkembang mendapatkan kelonggaran tarif lewat skema Generalized System of Preferences (GSP) dari Uni Eropa. Lewat skema ini, beberapa produk Indonesia yang masuk ke Uni Eropa mendapat tarif lebih rendah.
"Fasilitas GSP ini akan berakhir di 2019 atau 2020, karena itu ditentukan secara unilateral oleh Uni Eropa. Mereka bisa saja me-review atau bahkan tidak memperpanjang lagi, pada akhirnya yang rugi Indonesia," imbuhnya.
Pendapat Fithra diamini oleh Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati. Ia bilang persoalan ekonomi tak bisa menggunakan ancaman karena hanya akan memperburuk hubungan bilateral.
Ia menyarankan agar pemerintah menggunakan langkah negosiasi bilateral dengan negara-negara anggota Uni Eropa seperti halnya yang sudah dilakukan dengan Swiss. "Dengan pendekatan bilateral ke negara anggota yang berpotensi dilakukan kerja sama bilateral. Itu memudahkan untuk melakukan negosiasi," katanya.
Sejalan dengan itu, pemerintah perlu menyiapkan jawaban yang dilengkapi dengan data komprehensif terkait kondisi industri sawit Indonesia. Jawaban dan data yang dilampirkan itu harus mampu mempertegas kondisi sawit Indonesia tidak sesuai dengan tuduhan Uni Eropa.
"Itu semua tidak pernah dilakukan serius oleh pemerintah. Jadi, kita dituduh kampanye hitam bermacam-macam, tetapi tidak ada jawaban pemerintah dengan melampirkan data," terang Enny.
 Pengamat mengingatkan pemerintah untuk tidak mengancam Uni Eropa terkait konflik sawit, mengingat manfaat hubungan dagang yang diperoleh RI dari Uni Eropa. (AFP/WAHYUDI). |
Instropeksi DiriFithra berpendapat pemerintah seharusnya menjadikan keputusan Uni Eropa terhadap sawit sebagai salah satu langkah instrospeksi terhadap industri kelapa sawit Indonesia. Toh, apabila pemerintah mendorong industri sawit untuk memenuhi standar Uni Eropa, hasilnya juga akan menguntungkan bagi Indonesia.
Apalagi, kelapa sawit merupakan komoditas nomor satu bagi Indonesia. Tahun lalu, ekspor kelapa sawit mencapai US$17,89 miliar dan berkontribusi sekitar 3,5 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Selain itu, industri kelapa sawit juga menyerap 19,5 juta tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung, termasuk di dalamnya 4 juta petani kecil.
Dengan demikian, perbaikan pada kualitas sawit Indonesia secara tidak langsung akan meningkatkan ekonomi masyarakat. "Tidak ada salahnya, karena dengan dengan memenuhi standar itu, kita bisa meningkatkan kualitas produk kita juga," jelasnya.
Ia juga menilai sebaiknya pemerintah lebih agresif dalam melakukan diversifikasi pasar. Apalagi, beberapa negara di Afrika, Asia, dan Timur Tengah masih menjanjikan potensi pasar yang besar.
"Pemerintah harus taktis dan strategis, kalau Eropa sulit, maka cari pasar non tradisional lain. Jadi sebetulnya masih banyak peluang ketimbang memaksakan sesuatu dan mengorbankan jauh lebih besar," kata Fithra.
Sementara itu, Enny menilai pemerintah harus segera melakukan hilirisasi produk kelapa sawit, lantaran kebutuhan pasar akan produk turunan kelapa sawit sangat besar.
[Gambas:Video CNN]
Hilirisasi ini juga bisa meningkatkan nilai tambah produk Indonesia, sehingga tidak lagi bertumpu pada ekspor minyak kelapa sawit. Toh, Indonesia saat ini telah memiliki beberapa pabrik oleochemical, sehingga hilirisasi ini sebetulnya bisa digenjot.
"Minimal jangka pendek, bisa sehingga kita tidak terpaku oleh pasar tradisional, karena semua negara butuh turunan CPO," tukasnya.
(bir)