Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Development of Economics and Finance (
INDEF) memaparkan profitabilitas Badan Usaha Milik Negara (
BUMN) karya terus merosot dalam empat tahun terakhir. Hal ini dipicu oleh sikap pemerintah yang menggenjot proyek
infrastruktur tanpa berpikir lebih matang terhadap posisi keuangan perusahaan pelat merah.
Peneliti
Indef Sugiyono Madelan mengungkapkan pemerintah belakangan ini bukannya menaikkan suntikan dana untuk BUMN, melainkan bergantung dengan perusahaan konstruksi pelat merah untuk merealisasikan berbagai pembangunan infrastruktur.
"Persoalannya memang membangun infrastruktur tanpa perencanaan yang matang, sehingga BUMN terkena masalah likuiditas dan profitabilitas turun," tutur
Sugiyono, Minggu (24/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Profitabilitas bisa diartikan sebagai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba selama periode tertentu. Semakin rendah
persentasenya, maka kesehatan perusahaan semakin rendah. Begitu juga sebaliknya, keuangan perusahaan lebih sehat jika tingkat profitabilitas tinggi.
Indikatornya bisa dilihat dari
return on assets (
ROA) dan
return on equity (ROE).
ROA adalah rasio profitabilitas untuk menilai persentase keuntungan yang diperoleh perusahaan terkait total aset yang dimiliki, sedangkan ROE merupakan rasio profitabilitas untuk
menillai kemampuan perusahaan menghasilkan laba dari investasi pemegang saham.
Sementara, BUMN karya yang dimaksud, antara lain PT Pembangunan Perumahan (Persero)
Tbk (
PTPP), PT Waskita Karya (Persero)
Tbk (
WSKT), PT Wijaya Karya (Persero)
Tbk (
WIKA), dan PT
Adhi Karya (Persero)
Tbk (
ADHI).
Sugiyono menjabarkan per Desember 2018 ini
ROA PTPP turun menjadi 2,31 persen dari sebelumnya 4,13 persen, sedangkan ROE turun dari 12,1 persen menjadi 7,35 persen. Hal yang sama terjadi pada Wijaya Karya, di mana
ROA dan ROE turun menjadi kurang dari 2 persen.
Lalu,
ROA Waskita Karya hanya 3,48 persen dan ROE 16,64 persen. Terakhir,
Adhi Karya memiliki
ROA 1,19 persen dari sebelumnya 1,82 persen dan ROE dari 8,81 persen menjadi 5,51 persen.
Belum lagi, arus kas BUMN karya juga masih minus. Ini artinya ada masalah likuiditas yang membelenggu keuangan perusahaan, sehingga manajemen tak bisa
leluasan menggunakan keuangan
internalnya dalam menjalankan proyek infrastruktur.
Bila dirinci, arus kas operasional
PTPP pada kuartal III 2018 minus Rp1,82 triliun, Waskita Karya Rp1,54 triliun, Wijaya Karya Rp3,7 triliun, dan
Adhi Karya Rp2,09 triliun.
"BUMN perlu modal investasi dan modal kerja yang cukup supaya penugasan-penugasan tidak membuat arus kas terkena gangguan likuiditas," kata
Sugiyono.
Pemerintah, sambungnya, terlalu percaya diri dalam menilai kemampuan keuangan BUMN karya. Ia menilai persoalan arus kas untuk empat perusahaan yang juga tercatat di Bursa Efek Indonesia (
BEI) ini sulit diselesaikan jika pemerintah tak menyuntikkan dana lebih melalui penyertaan modal negara (
PMN).
Di sisi lain, lanjutnya, jika BUMN karya mengajukan
PMN ke pemerintah, kemungkinan besar hal itu ditolak atau diberikan dalam jumlah kecil. Sebab, pemerintah juga akan menjaga belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar tingkat defisit tidak tinggi.
"Maka pemerintah perlu menghitung lagi kemampuan agar kinerja keuangan BUMN tidak terganggu," ujarnya.
Sementara, Ekonom Senior
Indef Aviliani menilai pemerintah pusat bisa mendorong pemerintah daerah (
pemda) untuk menerbitkan obligasi daerah guna membiayai kebutuhan proyek infrastruktur di daerah tersebut. Dengan begitu, BUMN karya bisa mendapatkan sumbangan dana dari obligasi tersebut.
"Atau bisa juga swasta saja yang membangun (beberapa proyek infrastruktur), secara bertahap nanti pemerintah bayar," terang
Aviliani.
Ia menambahkan bahwa pembiayaan infrastruktur membutuhkan dana jangka panjang, sesuai dengan masa pembangunan proyek tersebut. Bila sudah begitu, bank BUMN yang ingin mengucurkan pinjaman harus siap mencari sumber dana pihak ketiga (
DPK) dengan jangka waktu lebih panjang dan murah agar tak membebani keuangan perusahaan.
"Penyaluran kredit untuk 2019 masih fokus pada infrastruktur namun sudah lebih terbatas karena keterbatasan sumber dana yang ada,"
ucapnya.
(aud/agi)