Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (
BI) menyebut kenaikan Penanaman Modal Asing (
PMA) menjadi kunci utama agar neraca transaksi berjalan RI berbalik menjadi surplus. Pasalnya,
investasi asing menghasilkan valuta asing.
Hingga akhir tahun lalu, BI mencatat defisit transaksi berjalan sebesar US$31,06 miliar atau 2,98 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Faktor pemberatnya adalah defisit pendapatan primer sebesar US$30,42 triliun dan neraca migas dengan defisit US$11,59 triliun.
Deputi Senior Gubernur BI Mirza Adityaswara mengatakan defisit pendapatan primer ini merupakan konsekuensi atas PMA ke Indonesia. Ketika investasi terealisasi, tentu akan menghasilkan pendapatan. Tetapi, karena bentuknya PMA, maka hasil investasi berupa dividen dan sebagian profit akan kembali lagi ke negara asal PMA.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, maka ada arus uang yang keluar dari Indonesia. Hal itu membebani defisit transaksi berjalan. Karenanya, harus ada kompensasi di komponen neraca berjalan lainnya agar dampak defisit pendapatan primer tak begitu berat.
Adapun, salah satu komponen yang dimaksud adalah ekspor. Makanya, harus ada instrumen kebijakan agar investasi yang masuk ke Indonesia memproduksi barang berbasis ekspor. Ekspor berpotensi menghasilkan penerimaan dalam bentuk valas, sehingga bisa memperbaiki neraca transaksi berjalan ke arah surplus.
"Indonesia ini terjadi defisit barang dan jasa, tapi memang yang bisa membiayai adalah direct investment. Tapi, PMA yang masuk ini harus menghasilkan valas agar ekspornya bisa naik," jelas Mirza, Rabu (27/8).
Ia menuturkan, sejatinya ada satu negara yang bisa dicontoh Indonesia, yakni Thailand. Negara gajah putih itu disebutnya juga sama-sama memiliki defisit pendapatan primer seperti Indonesia, tapi neraca transaksi berjalannya mengalami surplus.
Ini lantaran Thailand mengalami keunggulan ekspor di otomotif dan memiliki neraca jasa yang positif gara-gara pariwisata. Hal tersebut tak lepas dari niat pemerintah Thailand yang menarik investor besar, seperti Toyota dan Samsung untuk memperbesar skala manufaktur dan mengekspor produksinya dari Thailand.
"Thailand ini punya neraca jasa yang positif, ekspor besar, sementara neraca pendapatan primernya juga negatif seperti Indonesia," imbuh dia.
Namun, agar ekspor maksimal, arus impor juga harus dikendalikan. Mirza bilang, saat ini Indonesia perlu untuk mengurangi impor migas agar neraca perdagangan kian mumpuni.
Menurutnya, langkah pemerintah menuju ke arah sana sudah cukup baik, dengan dimulainya pengembangan mobil listrik dan insentif fiskal agar masyarakat beralih dari kendaraan dengan emisi karbon tinggi.
Pengendalian transaksi berjalan ini krusial agar daya tahan tubuh Indonesia kuat dari sentimen eksternal. Bagi BI, transaksi berjalan yang baik mempengaruhi kebijakan suku bunga acuan bank sentral. Sehingga, tidak perlu lagi ada dilema mengenai stabilitas atau pertumbuhan ekonomi (
stability versus growth) ketika perekonomian global sedang kisruh.
Ia mencontohkan tahun lalu, di mana BI harus menaikkan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) sebanyak enam kali untuk mencegah dana keluar (outflow) dan memperbaiki nilai rupiah pasca The Fed mengumumkan kenaikan Fed Rate. Padahal, inflasi di tahun lalu hanya 3,13 persen, atau di bawah rentang BI, yakni 3,5 plus minus 1 persen, sehingga ada ruang pertumbuhan ekonomi.
Namun, karena defisit transaksi sedang bengkak, BI memilih untuk menstabilkan ekonomi di tahun lalu. "Inflasi, defisit transaksi berjalan, dan kebijakan The Fed ini selalu menjadi tiga bahasan kami setiap bulan. Untuk tahun ini, kami hanya berharap defisit trasaksi berjalan bisa di bawah 2,5 persen agar perekonomian masih stabil," pungkasnya.
[Gambas:Video CNN] (glh/bir)