Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pemenangan Nasional (
BPN) Calon Presiden Nomor Urut 02
Prabowo Subianto mengkritik kebijakan
pre-funding yang dilakukan pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (
APBN) 2019.
Sebagai informasi, kebijakan
pre-funding merupakan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dalam jumlah jumbo di awal tahun untuk mengamankan pembiayaan bagi defisit APBN.
Anggota Tim Ekonomi BPN Anthony Budiawan mengatakan kebijakan ini kurang tepat karena justru menjadi jebakan bagi pelemahan nilai tukar rupiah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anthony berpendapat, kebijakan
pre-funding jor-joran di awal tahun menyebabkan modal asing masuk ke Indonesia. Hal tersebut terkonfirmasi dari data Bank Indonesia per 22 Maret 2018 yang menyebut aliran modal masuk ke Indonesia (
capital inflow) mencapai Rp74,4 triliun secara tahun kalender.
Dari angka tersebut, sebanyak Rp62,5 triliun atau 84 persen datang melalui transaksi SBN.
Aliran dana asing menyebabkan permintaan rupiah meningkat, sehingga nilai tukarnya terhadap dolar AS menguat. Namun, jika pembiayaan APBN Indonesia sudah mencapai target, ia tak yakin
inflow akan kuat di sisa tahun ini. Dengan demikian, permintaan rupiah kian lemah, dan nilai tukar bisa goyah sepanjang 2019.
"Setelah ini selesai (
pre-funding), pemerintah punya masalah kalau suatu saat
inflow dalam bentuk investasi portfolio tidak masuk. Kalau ada apa-apa di luar (sentimen eksternal), rupiah bisa kena masalah," jelas Anthony, Rabu (10/4).
Ia menuturkan sejatinya
pre-funding bisa saja dilakukan untuk kebutuhan fiskal asal nilainya tak berlebihan. Namun, saat ini ia menilai pre-funding yang dilakukan pemerintah cukup berlebihan.
Menurut data Kementerian Keuangan, realisasi penarikan SBN netto sudah mencapai Rp197,09 triliun hingga Februari, atau 50,67 persen dari target APBN yakni Rp388,96 triliun. Sementara itu, defisit APBN dalam dua bulan pertama saja tercatat Rp54,16 triliun atau 0,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Artinya, utang yang ditarik pemerintah dalam dua bulan pertama bernilai hampir empat kali lipat dari kebutuhan defisitnya.
"Dengan cara ini, sebenarnya pengelolaan APBN tidak lebih baik," ujar dia.
Skema
pre-funding dianggap tidak sepatutnya dilakukan ketika Indonesia masih dilanda defisit transaksi berjalan. Pasalnya, menurut dia, neraca modal dan finansial seharusnya menjadi penyangga agar neraca pembayaran bisa tetap positif.
Agar neraca modal dan finansial bisa menopang neraca pembayaran secara sinambung, maka rencana penerbitan SBN juga harus seimbang sepanjang tahun.
Terlebih, defisit transaksi berjalan masih akan kembali mengintai tahun ini setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan dalam dua bulan pertama 2019 yang masih defisit sebesar US$730 juta.
Selain itu, defisit transaksi berjalan juga terus mengalami tren memburuk, dari 3,01 persen dari PDB di kuartal II 2018, menjadi 3,28 persen dari PDB di kuartal III, menjadi 3,57 persen dari PDB di kuartal IV.
"Jika tidak bisa menyeimbangkan investasi portofolio, maka rupiah pasti akan terdepresiasi," tutur dia.
[Gambas:Video CNN] (glh/lav)