Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Darmin Nasution berharap defisit transaksi berjalan Indonesia segera membaik. Harapan ia sampaikan setelah data Badan Pusat Statistik (
BPS) menunjukkan
neraca perdagangan sepanjang Maret kemarin mengalami surplus.
Dengan perbaikan tersebut, Darmin memperkirakan defisit transaksi berjalan di kuartal I bisa di bawah angka kuartal IV yang 3,57 persen dari Produk Domestik bruto (PDB). Sebagai informasi, neraca dagang Maret mencatatkan surplus US$540 juta.
Dengan kondisi tersebut, secara kumulatif, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan sepanjang kuartal I 2019 tercatat US$193,4 juta. Angka ini membaik dibandingkan defisit neraca perdagangan pada kuartal IV 2018 yang mencapai US$4,8 miliar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara tren, neraca perdagangan yang menurun tentu membuat tren defisit transaksi berjalan kuartal I juga turun," tutur Darmin, Senin (15/4).
Hanya saja ia enggan menyebut prediksi defisit transaksi berjalan pada kuartal I. Pasalnya, ia masih menunggu realisasi dari neraca jasa.
Maklum, neraca jasa selama ini memang menunjukkan posisi negatif. Adapun, berdasarkan data Bank Indonesia (BI) pada kuartal IV, neraca jasa masih menunjukkan defisit US$1,62 miliar.
"Kalau itu (neraca jasa) juga membaik, arahnya membaik. Tapi kalau dihitung defisit transaksi berjalan ini bisa berapa, susah juga," imbuh Darmin.
Tak hanya di transaksi berjalan, Darmin juga menilai neraca transaksi modal dan finansial bisa membaik di kuartal I seiring maraknya arus modal masuk ke Indonesia (
capital inflow).
[Gambas:Video CNN]
Walhasil, neraca pembayaran Indonesia juga diharapkan bisa lebih baik dibanding kuartal IV yang surplus US$5,41 miliar. Berdasarkan data Bank Indonesia pada Jumat (12/4) lalu,
capital inflow secara tahun kalender (
year-to-date) mencapai Rp90,9 triliun.
Capital inflow terdiri dari transaksi Surat Berharga Negara (SBN) yang sebesar Rp75 triliun dan transaksi pasar saham sebesar Rp15,9 triliun. Arus modal masuk tersebut naik hampir 10 kali lipat dibanding
inflow periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya Rp9,6 triliun.
Darmin bilang saat ini investor portfolio memang tengah mengincar negara berkembang seperti Indonesia karena Amerika Serikat (AS) diperkirakan mengalami resesi ekonomi. Perkiraan resesi tercermin dari imbal hasil surat utang AS bertenor pendek yang lebih tinggi ketimbang obligasi jangka panjang (
inverted yield curve).
"Dulu masalah Indonesia di 2018 itu memang banyak modal keluar dari sini karena orang mengira
chaos di negara berkembang. Tapi ke depan, orang menganggap AS akan resesi, kalau dia bayangan resesi kan tidak tahu persisnya seperti apa, sehingga yang terjadi adalah arus modal ke sini," imbuh dia.
(glh/agt)