Jakarta, CNN Indonesia -- Hidup di era
digital seperti sekarang memang mengasyikkan. Semua kesenangan seakan mudah didapat hanya dengan diam di rumah.
Maklum, dengan modal ponsel pintar dan akses internet, tiap orang bisa menghabiskan waktu dengan
game online, nonton film, hingga mendengarkan lagu lewat aplikasi. Tapi jangan salah, selalu ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkan kesenangan.
Terlihat murah memang, tapi lain cerita jika kita sudah kecanduan. Untuk
game, sebut saja ada
PUBG Mobile dan
Let's Get Rich yang tenar saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, ada aplikasi berbayar Netflix, Iflix, dan HOOQ yang menawarkan banyak film dan Spotify untuk mendengarkan musik sesuka hati.
Mochammad Faisal Akbar (24), contoh kaum milenial yang kecanduan dengan
game online. Ia rela menggunakan beberapa gajinya demi membeli berbagai karakter dan senjata ketika bermain
game online.
Ia mengaku merogoh kocek sebesar Rp350.000-Rp500.000 setiap bulan untuk memenuhi kesenangannya tersebut.
"Tergantung
season game nya juga kalau saya, apakah item-item atau karakternya menarik atau tidak. Tapi tidak setiap ada yang baru saya beli, bergantung," cerita Faisal kepada CNNIndonesia.com, Jumat (19/4).
Walau rata-rata hanya menghabiskan sekitar Rp500.000 per bulan, tapi Faisal mengalokasikan dana sampai Rp750 ribu per bulan untuk kebutuhan bermain
game online. Dia sengaja menganggarkan lebih banyak karena khawatir ada pilihan karakter, konstum, dan senjata yang menarik.
"Tapi tidak pernah lebih dari Rp750.000, soalnya Rp500.000 aja sudah terasa keluar uangnya," tutur dia.
Sementara itu, bagi Ronauli Sinaga (25) yang hobi menonton film dan mendengarkan musik, ia memilih berlangganan Netflix dan Spotify. Namun, dana yang digelontorkan memang tak sebanyak Faisal.
"Netflix hanya Rp43.000 per bulan dan Spotify Rp15.000 per bulan. Hitungannya murah karena semua gunakan akun bareng teman," ucap Ronauli.
Ia mulai langganan dua aplikasi berbayar tersebut sejak enam bulan lalu. Tawaran promo yang datang kepadanya saat itu langsung diterima karena kocek yang harus dirogoh dianggap sesuai dengan isi dompetnya.
"Sekarang justru jadi lebih efisien karena tidak lagi perlu unduh film, semua sudah ada," kata Ronauli.
Perencana Keuangan dari Mitra Rencana Edukasi (MRE) Andi Nugroho menyatakan idealnya dana yang dikucurkan untuk kebutuhan hiburan hanya 10 persen dari total penghasilan atau gaji setiap bulan. Hiburan yang dimaksud sudah mencakup semua, mulai dari menghabiskan akhir pekan, rekreasi, menonton film di bioskop, bermain
game online, dan lain-lain.
"Jadi misalnya gaji Rp5juta, 10 persennya adalah Rp500.000. Itu idealnya ya, bisa lebih tapi tergantung kondisi masing-masing orang," ujar Andi.
Menurutnya, mayoritas penghasilan atau sebesar 50 persen idealnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari misalnya, makan, transportasi dari rumah ke kantor, membeli kebutuhan di rumah, dan berbagai tagihan.
Lalu, jangan lupa sisihkan 10 persen dari penghasilan untuk menabung dan berinvestasi, 10 persen untuk dana darurat, 10 persen untuk meningkatkan kemampuan seperti mengikuti les tambahan, 10 persen untuk hiburan, dan 10 persen lagi untuk bersedekah.
Namun, semuanya akan bergantung kondisi masing-masing orang. Bagi yang belum berumah tangga, kebutuhannya akan lebih fleksibel karena tak punya tanggung jawab lebih yang harus dipenuhi.
Berbeda bagi mereka yang sudah tak sendiri. Kebutuhannya tentu semakin banyak, misalnya membayar sekolah anak, asisten rumah tangga, dan mengalokasikan untuk belanja sehari-hari di rumah.
"Kalau sudah begitu kan dana yang dianggarkan untuk senang-senang harus dikurangi karena ada kebutuhan lain yang lebih penting," katanya.
Kendati demikian, bagi yang sudah kecanduan bisa saja tetap kebobolan. Pasalnya, pembayaran
game online bisa dari pulsa dan kartu kredit.
Jadi, seseorang yang tidak memiliki uang tunai pun bisa tetap membeli berbagai karakter hingga senjata di
game online, atau berlangganan berbagai aplikasi berbayar melalui kartu kredit.
"Jadi lebih bagaimana mengubah pola pikir. Bagaimana caranya menghentikan kecanduan, karena memang tidak terasa tiba-tiba tagihan kartu kredit nanti besar," jelas Andi.
Ini penting. Andi mengingatkan jangan sampai seseorang terjebak utang yang membludak karena hanya tak bisa menahan nafsu untuk menyalurkan kesenangannya bermain
game online dan berlangganan aplikasi berbayar.
Sementara, Perencana Keuangan OneShildt Budi Rahardjo menyarankan untuk tak mengalokasikan dana lebih hanya demi memenuhi kebutuhan gaya hidup per bulannya. Seorang karyawan atau mereka yang membuka usaha sendiri harus disiplin dan bijak menggunakan penghasilannya.
"Karena anggaran menentukan gaya hidup orang juga, jadi harusnya tahu juga dengan penghasilan sekian apakah pas dengan gaya hidup seperti itu," papar Budi.
Sebagai gambaran, jika dana yang dialokasikan untuk hiburan hanya Rp500.000, lalu sudah habis pada pertengahan bulan, maka jangan sampai mengambil dana lebih yang sudah dianggarkan untuk kebutuhan lain.
"Anggaran habis jangan dipaksakan lagi gunakan kartu kredit itu kurang bijak untuk kebutuhan konsumtif. Harusnya untuk kegiatan produktif," terang Budi.
Sedikit berbeda dengan Andi, ia menyebut alokasi dana untuk hiburan maksimal bisa mencapai 15 persen dari total penghasilan. Sementara, anggaran untuk kebutuhan sehari-hari sebesar 40 persen, 20-30 persen untuk investasi dan menabung, dan 10 persen untuk kegiatan sosial.
"Sisanya bisa untuk membayar cicilan, kalau tidak ada cicilan bisa untuk menambah tabungan," sambungnya.
Jika hitung-hitungan ideal itu tak bisa dipenuhi, maka ada cara lain dengan langsung memisahkan uang untuk hiburan dan kebutuhan sehari-hari dalam dua rekening yang berbeda. Dengan begitu, seseorang akan lebih sadar kebutuhan mana yang harus diprioritaskan.
Kemudian, bagi yang tak bisa menahan melakukan transaksi lewat kartu kredit, disarankan untuk mengatur limit atau batas kartu kreditnya dengan nominal yang sedikit atau pas-pasan. Jadi, seseorang tak bisa seenaknya menggunakan kartu kredit untuk bermain game online atau berlangganan aplikasi berbayar di luar tingkat kemampuan.
"Tapi sebenarnya semua tetap kembali pada kemampuan pribadi dalam mengontrol keuangannya, yang penting kesadaran diri," pungkas Budi.
(aud/agt)