Jakarta, CNN Indonesia -- Reli penguatan harga
minyak mentah dunia tertahan pada perdagangan Kamis (25/4), waktu Amerika Serikat (AS). Hal itu terjadi setelah data menunjukkan pasokan
minyak mentah AS melesat hingga ke level tertinggi sejak Oktober 2017.
Kenaikan stok tersebut melawan sentimen mengetatnya pasokan yang disebabkan oleh kebijakan pemangkasan produksi Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan pengenaan sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela.
Dilansir dari
Reuters, Kamis (25/4), harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) turun US$0,41 menjadi US$65,89 per barel. Pada perdagangan kemarin, WTI sempat menyentuh level US$66,6 per barel, tertinggi sejak 31 Oktober 2018.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, harga minyak mentah berjangka Brent hanya menguat tipis US$0,06 menjadi US$74,57 per barel. Pada perdagangan dua hari terakhir, harga acuan global ini sempat menembus level US$74,73 per barel, tertinggi sejak 1 November 2018.
Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) mencatat persediaan minyak mentah AS melonjak 5,5 juta barel pekan lalu. Realisasi tersebut jauh di atas proyeksi analis yang memperkirakan kenaikan hanya akan sebesar 1,3 juta barel.
EIA juga melaporkan produksi minyak mentah AS pekan lalu mencapai 12,2 juta barel per hari (bph). Net impor AS juga melonjak 900 ribu bph. Sebagai catatan, tahun lalu, AS merupakan produsen minyak mentah terbesar di dunia.
Kendati demikian, tingkat utilisasi kilang naik menjadi 90,1 persen dari total kapasitas, tertinggi sejak awal Februari 2019.
Sebelumnya, harga spot dan berjangka minyak mentah sempat mengalami reli pekan ini setelah AS, pada awal pekan ini, menyatakan bakal menghentikan seluruh pengecualian pemberlakuan sanksi AS terhadap Iran.
AS meminta seluruh negara berhenti mengimpor minyak dari Iran atau akan menghadapi hukuman dari AS. Hal itu mengerek kekhawatiran terhadap mengetatnya pasokan minyak global.
Pada Rabu (24/3), Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menyatakan AS harus siap menghadapi konsekuensinya jika mencoba menghalangi Iran menjual minyaknya dan melewati Selat Hormuz.
China, konsumen minyak Iran terbesar, telah secara resmi menyampaikan keluhannya terhadap kebijakan AS. Akibat kebijakan AS tersebut, harga minyak Brent di pasar spot melesat membuatnya lebih mahal dibandingkan harga Brent berjangka.
AS melihat Arab Saudi sebagai mitranya akan menyeimbangkan pasar minyak. Namun, Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih menyatakan tingkat produksinya pada Mei mendatang tak akan berbeda jauh dengan produksi bulan-bulan sebelumnya. Hal itu memberikan sinyal Arab Saudi belum akan mengambil langkah untuk mengimbangi berkurangnya pasokan minyak dari Iran di pasar global.
Al Falih juga menambahkan Arab Saudi akan terus menjaga komitmen untuk memangkas produksinya sesuai kesepakatan OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia atau OPEC+. Pada Juni mendatang, kelompok produsen minyak tersebut baru akan menentukan langkah berikutnya setelah melihat kebutuhan konsumen.
Analis Energi Mizuho Paul Sankey mengungkapkan Arab Saudi telah menciptakan peralihan kapasitas produksi sebesar 500 ribu bph di dalam alokasi produksi OPEC+ yang disepakati. Pasalnya, produksi Arab Saudi hanya 9,8 juta bph atau di bawah batas produksinya 10,3 juta bph.
"Jika pasar mulai terlihat terlalu ketat akibat berkurangnya ekspor minyak Iran, Arab memiliki sejumlah kapasitas produksi untuk meredakan tekanan dari kebijakan AS tersebut tanpa melanggar komitmennya terhadap OPEC+ dan membahayakan komitmen OPEC+," tandas Sankey.
[Gambas:Video CNN] (sfr/bir)