Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak dunia mencatatkan penurunan mingguan terbesar untuk 2019 pada sepanjang pekan lalu. Pelemahan dipicu oleh kenaikan persediaan pasokan dan kekhawatiran pasar terhadap
perekonomian global.
Dilansir dari Reuters, Senin (27/5), harga minyak mentah berjangka Brent pada perdagangan Jumat (24/5) ditutup di level US$68,69 per barel atau melemah 4,5 persen sepanjang minggu lalu.
Pelemahan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar 6,4 persen secara mingguan menjadi US$58,63 per barel. Pelemahan tersebut merupakan yang terdalam sejak Desember 2018.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) menyatakan harga WTI ditekan oleh peningkatan pasokan yang secara nasional berada di level tertinggi sejak Juli 2017. Stok minyak mentah di hub pengiriman minyak mentah AS Cushing Oklahoma juga berada di level tertinggi sejak Desember 2017.
Selain itu, kekhawatiran pasar terhadap kondisi ekonomi global yang dipicu olehpeningkatan tensi perdagangan antara AS-China juga telah menghantam pasar global. Hal itu ditandai oleh oleh indeks MSCI seluruh negara yang mencatatkan pelemahan mingguan lebih dari 1 persen. Artinya indeks MSCI telah berada di zona merah selama tiga pekan berturut-turut.
"Bisnis di AS yang terkena dampak dari meningkatnya tarif akan membuat keputusan mengenai pembelian, persediaan, dan lain-lain yang akan menekan pertumbuhan perekonomian AS dan dapat berimplikasi pada permintaan minyak AS," ujar Pimpinan Ritterbusch and Assoaciates Jim Ritterbusch.
Menurut Ritterbusch penurunan harga WTI di bawah perkiraan level support US$56 per barel kemungkinan terasosiasi dengan penurunan pasar modal lebih jauh yang sangat terkait dengan belum berakhirnya persoalan dagang antara AS -China.
"Volatilitas di seluruh pasar akan meningkat hingga terlihat perkembangan signifikan pada perdagangan," ujar Ritterbusch.
Sementara itu, meningkatnya produksi minyak mentah AS menekan harga minyak. Lonjakan produksi minyak shale telah menjadikan AS sebagai produsen minyak terbesar di dunia, mengungguli Arab Saudi dan Rusia.
Data mingguan jumlah rig minyak AS menunjukkan perusahaan energi AS pekan lalu memangkas jumlah rig yang beroperasi selama tiga pekan berturut-turut. Jumlah rig merupakan salah satu indikator dari produksi di masa depan.
[Gambas:Video CNN]
Kendati demikian, berdasarkan proyeksi EIA, produksi minyak AS masih diperkirakan mencapai 13 juta barel per hari (bph) pada kuartal IV 2019. Di sisi lain, pemangkasan pasokan, baik secara sukarela maupun akibat pengenaan sanksi AS, telah membatasi pelemahan harga minyak dan membuat sejumlah analis meyakini bahwa pasar akan pulih.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia, telah memangkas produksinya untuk memperketat pasar dan mendorong harga.
Kemudian, sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela juga membatasi ekspor kedua negara sehingga mengurangi pasokan lebih jauh.
Struktur harga Brent masih dalam kondisi mundur di mana harga Brent untuk pengiriman dalam waktu dekat lebih tinggi dibandingkan Brent yang baru dikirim nanti. Hal itu mengindikasikan keseimbangan pasokan dan permintaan yang ketat.
Masuk akal jika meragukan apakah Arab Saudi mau mengerek produksinya melihat penurunan harga terakhir," ujar para analis Commerzbank.
Karenanya,Commerzbank memperkirakan harga minyak masih akan naik lagi dalam waktu dekat.
(sfr/agt)