Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian memperkirakan tensi
perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan
China baru akan mereda bila pertumbuhan ekonomi AS menurun pada kuartal II 2019. Namun, bila perekonomian AS masih baik-baik saja, bukan tidak mungkin perang dagang masih akan terus berlangsung.
Tengoklah, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir menyebut ketika ekonomi global dan negara-negara lain menurun, Presiden AS Donald Trump tetap agresif melancarkan kenaikan tarif impor.
Hal ini lantaran ekonomi AS masih cukup baik. Pada kuartal I 2019 misalnya, ekonomi negara adidaya itu mencapai 3,2 persen. Realisasinya melebihi ekspektasi pasar sebesar 2,2 persen. Begitu pula dengan ekspektasi bank sentral AS, The Federal Reserve di angka 2,4 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, bila pertumbuhan ekonomi AS melorot, Trump disebut akan mempertimbangkan kembali berbagai ketegangan yang telah dibuatnya. "Kalau pertumbuhan ekonomi AS turun (pada kuartal II 2019), itu pasti tidak akan berlangsung lama ketegangan AS-China," ujarnya di kantornya, Senin (10/6).
Iskandar menambahkan peluang perang dagang mereda ketika perekonomian AS melorot terlihat pula dari sikap Trump yang baru saja menunda kenaikan tarif bea masuk impor sebesar 5 persen untuk produk-produk impor dari Meksiko pada akhir pekan lalu.
Padahal, Pemerintah Meksiko baru berjanji untuk membantu AS mengurangi jumlah imigran gelap Meksiko yang melintasi perbatasan kedua negara. Artinya, belum ada dampak pengurangan jumlah imigran Meksiko di AS.
Namun, Trump setidaknya sudah mau berkepala dingin untuk menunda kenaikan tarif impor tersebut. "Saya lihat dengan Kanada dan Meksiko sudah mulai melunak setidaknya," imbuhnya.
Di sisi lain, Iskandar melanjutkan perang dagang akan dipertimbangkan Trump ketika perekonomiannya menurun karena beberapa indikator sudah mulai mencerminkan indikasi penurunan.
Misalnya, tercermin dari rilis data ketenagakerjaan AS, yaitu Non-farm Payrolls (NFP) yang hanya sebesar 75 ribu pekerja. Angka tersebut jauh di bawah ekspektasi pasar, yakni 185 ribu pekerja.
Kendati begitu, Iskandar belum bisa memperkirakan seberapa besar potensi penurunan ekonomi salah satu negara mitra dagang Indonesia itu. "Seberapa kencang atau tidaknya, saya belum bisa jawab," ucapnya.
Sekadar mengingatkan, perang dagang AS-China kembali memasuki babak baru. Trump mengeluarkan larangan akses pembelian teknologi vital dari AS tanpa persetujuan khusus untuk Huawei, perusahaan teknologi raksasa asal China. AS juga melarang perangkat China itu ada dalam jaringan telekomunikasi AS.
[Gambas:Video CNN]Keputusan ini diberlakukan dengan alasan keamanan nasional. Di sisi lain, keputusan AS dikhawatirkan bakal mengganggu bisnis Huawei ke depan. Sebab, perusahaan tetap membutuhkan akses teknologi dari AS.
Hal tersebut kemudian dibalas oleh pemerintah China dengan menyusun daftar hitam (blacklist) bagi perusahaan-perusahaan AS yang melanggar aturan pasar dan memblokir pasokan untuk perusahaan China. Meski begitu, daftar hitam resmi belum dikeluarkan oleh pemerintah China.
(uli/bir)