Asumsi Makro Meleset, Sri Mulyani Belum Niat Ubah APBN
CNN Indonesia
Selasa, 16 Jul 2019 20:35 WIB
Bagikan:
url telah tercopy
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan walau asumsi APBN 2019 meleset, pemerintah belum akan ajukan APBNP. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan belum akan mengajukan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Padahal, realisasi asumsi makro sepanjang paruh pertama tahun ini dan proyeksi hingga akhir tahun meleset dari perkiraan APBN 2019.
"Kalau melihat dari semester I dan proyeksi masih di dalam rentang(perkiraan). Jadi, kami juga melihat sama dengan kondisi 2018," ujar Ani, sapaan akrabnya, di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebagai pengingat, tahun lalu, pemerintah memutuskan untuk tidak mengusulkan APBNP meski realisasi asumsi makronya juga meleset. Ani mengungkapkan pihaknya menerima masukan dari instansi lain yang berkepentingan salah satunya Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, ia tak merinci masukan tersebut. "Kalau kemarin di dalam pembahasan kami dengan BPKP ada beberapa pos yang perlu kami koreksi nanti kami akan lihat mekanismenya," ujarnya.
Dalam paparannya di Badan Anggaran DPR hari ini, Ani menyampaikan realisasi asumsi makro dan kinerja APBN 2019. Selain itu, Ani juga menuturkan proyeksinya hingga akhir tahun.
Untuk pertumbuhan ekonomi, Kemenkeu memperkirakan sepanjang semester I tumbuh 5,1 persen. Dengan proyeksi semester II sebesar 5,2 persen, hingga akhir tahun pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya 5,2 persen atau di bawah target APBN yang dipatok 5,3 persen.
Berikutnya, laju inflasi diperkirakan akan di bawah asumsi APBN yang sebesar 3,5 persen. Sepanjang paruh pertama tahun ini, realisasi inflasi 3,3 persen. Namun, pada paruh kedua diperkirakan hanya 3,1 persen. Dengan demikian, inflasi tahun ini diperkirakan sebesar 3,1 persen.
Selanjutnya, kurs rupiah terhadap dolar AS cenderung menguat dibandingkan asumsinya, Rp15.000 per dolar AS. Sepanjang Januari - Juni 2019, rata-rata kurs rupiah tercatat Rp14.197 per dolar AS. Pada periode Juli - Desember, proyeksi rata-rata kurs diperkirakan sebesar Rp14.303 per dolar AS. Sepanjang tahun, rata-rata kurs mata uang Garuda ditaksir sebesar Rp14.250 per dolar AS.
Suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) hingga akhir tahun juga diperkirakan mencapai 5,6 persen atau lebih tinggi dari asumsi awal 5,3 persen. Menanjaknya suku bunga tak lepas dari meningkatkan risiko perekonomian global.
Untuk harga minyak mentah Indonesia (ICP), rata-ratanya hingga Desember 2019 ditaksir di level US$63 per barel atau lebih rendah dari asumsi awal US$70 per barel. Penurunan harga minyak seiring tren penurunan harga komoditas lainnya akibat pelemahan perekonomian dunia. Kondisi ini berdampak pada penerimaan negara.
Capaian produksi siap jual (lifting) minyak dan gas (migas) juga diperkirakan tak mencapai target. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar lapangan migas yang berproduksi di Indonesia sudah berada pada fase penurunan alami.
Diperkirakan, lifting minyak hingga akhir tahun hanya akan mencapai 754 ribu barel per hari (bph) atau 97,29 persen dari target APBN 2019, 775 ribu bph. Begitu pula lifting gas yang diramal hanya berkisar 1.072 ribu barel setara minyak per hari (boepd) atau 85,76 persen dari target. 1.250 ribu boepd.
Kinerja APBN 2019 juga masih di bawah harapan. Hingga paruh pertama, Kemenkeu mencatat defisit mencapai -Rp135,8 triliun atau 0,84 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Realisasi tersebut melebar jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu senilai -Rp110,6 triliun atau 0,75 persen dari PDB.
Hingga akhir tahun, Kemenkeu mengantisipasi defisit anggaran akan melebar hingga Rp310,8 triliun atau 1,93 persen dari PDB. Proyeksi itu di atas target awal yang sebesar Rp296 triliun atau 1,84 dari PDB.
Prognosa defisit tersebut berasal dari proyeksi pendapatan negara yang hanya akan sebesar Rp1.643,08 triliun atau 93,8 persen dari target. Sementara, belanja negara diperkirakan mencapai Rp2.341,57 triliun atau 95,1 persen dari pagu APBN 2019. Untuk menutup defisit, pemerintah memerlukan pembiayaan sebesar Rp310,8 triliun atau 5 persen di atas taksiran awal, Rp296 triliun.
"Defisit 2019 sedikit lebih tinggi dari yang dianggarkan dalam undang-undang meskipun tidak terdeviasi terlalu jauh ini akibat adanya tren pelemahan dari penerimaan dengan perekonomian yang mengalami tekanan," ujarnya.