Jakarta, CNN Indonesia -- PT
Pertamina (Persero) mengaku belum menetapkan besaran ganti rugi kepada nelayan, petambak, dan masyarakat di sekitar bibir pantai akibat
tumpahan minyak anjungan (rig) lepas pantai YYA, Blok Migas Offshore North West Java (
ONWJ).
Pertamina bahkan belum menghitung kerugian dari insiden yang terletak di 2 kilometer (km) dari Pantai Utara Jawa, Karawang, Jawa Barat. Hal itu dikarenakan Pertamina masih menunggu laporan dari 11 posko penanganan.
Selain itu, Direktur Hulu Pertamina Damawan H Samsu mengatakan perseroan masih fokus pada penanganan tumpahan minyak agar tidak merugikan masyarakat lebih banyak, termasuk merusak lingkungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Izinkan kami konsentrasi pada dampaknya terhadap lingkungan, biota laut, masyarakat. Itu semua bisa dikelola sebaik-baiknya," ujarnya, Kamis (1/8).
Berkaca dari insiden serupa yang pernah dialami perusahaan, manajemen selalu mengedepankan penanganan maksimal, tanpa mempertimbangkan hitung-hitungan nominal. Yang pasti, ia memastikan kebijakan ganti rugi tidak akan membuat kinerja keuangan perseroan terpuruk.
"Dalam
track record (catatan) perusahaan yang pernah mengalami hal ini, itulah yang dilakukan dan mereka survive (bertahan)," jelas Damawan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menyebut Pertamina bakal memberi kompensasi kepada masyarakat terdampak.
"Jumlah itu yang menetapkan bukan kami, tapi dinas perikanan dan bupati. Jadi kami akan menunggu data dari mereka," paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Pertamina Hulu Energi (PHE) Meidawati menjelaskan penanganan tumpahan minyak membutuhkan waktu panjang. Targetnya, hingga tahun 2020.
Prosesnya sendiri meliputi empat tahap.
Pertama, tahap penanggulangan yang berlangsung pada periode Juli-Agustus 2019.
Kedua, tahap pemulihan pada September-November 2019.
Ketiga, tahap pasca pemulihan pada Desember 2019.
Keempat, tahap rutin pada Januari 2020 dan seterusnya.
Direktur Utama Pertamina Nicke menyatakan meskipun pihaknya menyusun peta rancangan (road map) penanggulangan tumpahan minyak, namun perseroan akan melakukan penanggulangan secara tuntas. Itu berarti, jika dalam tenggat itu masih terdapat kebocoran, maka perseroan akan terus melakukan penanganan.
Ia meminta seluruh nelayan untuk melapor jika menemukan tumpahan minyak yang belum ditangani. Nelayan diimbau untuk melaporkan koordinatnya alih-alih menangani tumpahan minyak secara mandiri lantaran cukup berisiko. "Kami akan melakukan penanggulangan dengan tuntas," terang dia.
[Gambas:Video CNN]Bantah Terkait Gross Split Direktur Hulu Pertamina Dharmawan H. Samsu membantah musibah itu berkaitan dengan penerapan skema (
Production Sharing Contract/PSC) berbasis gross split, sehingga menurunkan standar keamanan.
Sebagai catatan, skema PSC gross split adalah skema di mana bagi hasil produksi migas antara pemerintah dan KKKS dilakukan tepat setelah produksi migas bruto dihasilkan. Pemerintah juga tak perlu mengganti biaya produksi migas yang dilakukan KKKS seperti yang dilakukan dalam skema sebelumnya, PSC cost recovery.
"Kami yakinkan bahwa tidak ada prosedur yang dikorbankan hanya karena kami melakukan gross split. Standar dari keamanan adalah hal yang tidak boleh dikorbankan untuk tujuan tertentu," tegas dia.
Namun, ia menyatakan Pertamina akan melakukan evaluasi berdasarkan hasil investigasi penyebab kebocoran tersebut. Saat ini, pihak terkait masih mencari penyebab kebocoran.
"Dari hasil investigasi Pertamina akan belajar sungguh-sungguh untuk meningkatkan kemampuan kami. Hal ini juga menjadi pelajaran agar kami lebih baik ke depan," tuturnya.
Untuk diketahui, PHE merupakan Kontraktor Kontra Kerja Sama (KKKS) alias operator Blok ONWJ. Insiden kebocoran sendiri terjadi ketika dilakukan pengeboran sumur reaktivasi YYA-1 pada Jumat (12/7) lalu. Dalam penanganannya, Pertamina melibatkan perusahaan asal Amerika Serikat (AS) Boots & Coots.
(ulf/bir)