Jakarta, CNN Indonesia -- Kecantikan
Martha Tilaar, pengusaha kosmetik dan jamu legendaris, seolah tak termakan usia. Tengoklah, di usianya yang sepuh, 81 tahun, parasnya masih mempesona. Kelihaian Martha berdandan sepertinya belum berkurang sedikit pun. Bisa dibilang tongkat master ratu
kosmestik masih digenggamnya.
Namun, apa yang diraihnya saat ini, tidak bisa dibilang mudah. Ibarat kata, tak seperti menjentikkan jemari. Buktinya, sebelum memimpin usaha kecantikan di bawah bendera Martha Tilaar Group, pemilik nama asli Martha Handana ini harus merintis usahanya di garasi sang ayah.
Iya, Martha menyulap garasi berukuran 4x6 meter di rumah orangtuanya di Menteng, Jakarta Pusat, menjadi salon kecil-kecilan. Maklum, tak berlimpah modal. Beruntung, lokasinya strategis dan dekat dengan beberapa kantor kedutaan besar. "Saya cari tukang koran, boleh tidak dibantu masukkan brosur (salon) saya. Dia bilang boleh."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usahanya membuahkan hasil. Bak durian runtuh, salon 'garasi' Martha dikunjungi istri Duta Besar AS. Dari sana, istri-istri duta besar lainnya ikut mengunjungi salon Martha. Bahkan, mereka menjadi pelanggan dan mengantar usaha Martha lebih berkembang.
"Enam bulan kemudian, saya minta ke ayah saya, 'Pah bagaimana kalau tinggal di garasi dan salonnya di dalam rumah.' Ayah bilang boleh. Akhirnya salon pun semakin besar, dan besar," kenang Martha.
 Martha Tilaar. (CNN Indonesia/Artho Viando). |
Tidak berhenti sampai di sana, wanita kelahiran Gombong, Kebumen, 4 September 1937 itu terus berinovasi. Ia melahirkan sederet produk kosmetik dan jamu, sekolah kecantikan, jasa untuk pesta pernikahan, dan riset dan pengembangan tren warna kecantikan. Usahanya itu sukses mempekerjakan hingga 4.000 orang.
Berikut cerita lengkap Martha kepada
CNNIndonesia.com ditemui di kediamannya, belum lama ini.
Bagaimana awal mula terbersit di pikiran Ibu untuk memulai bisnis kosmetik dan jamu di Indonesia?Saya berawal dari Amerika Serikat (AS) waktu itu, karena saya sekolah di AS Beauty Academy. Dari situ saya baru sadar bahwa pada waktu itu pikiran saya benar-benar terjajah. Apa yang berasal dari barat adalah yang terbaik.
Tapi setelah saya hampir lima tahun di AS, saya sadar bahwa orang AS dan Asia berbeda. Kulit Asia, kulit yang ada di iklim tropis. Maka itu saya sadar bahwa orang Indonesia harus mempunyai identitas sebagai wanita Asia dalam bidang kecantikan.
Pada akhir ujian saya terakhir, guru saya mengatakan 'Martha kamu harus menulis mengenai tata rias khas negara kamu'. Jadi, wayang wong, doger, ketoprak gitu. Saya kaget, karena saya anggap ah itu kampungan, tidak ada harganya. Nah, itu salah. Bagaimana pun juga kebudayaan adalah identitas.
Saya menangis waktu itu, karena saya takut kalau saya tidak lulus. Tapi teman saya Miyoko, itu 45 tahun yang lalu, bilang, '
Don't worry Martha, I have a book for you, The Geisha's book'. Saya bilang '
Oh okay, thank you very much' saya pikir.
Senang banget gitu ya, terus saya menulis, saya gambar Geisha-nya dan saya hafal filosofinya Geisha itu mau melayani laki-laki, tetapi tidak mau diketahui identitasnya. Makanya, semua putih sekali, hanya bibirnya yang seksi begitu ya. Jadi itulah yang utama saya melihat make up dari Jepang. Dosen saya bilang, '
Martha where are you from?' waktu ujian. Saya jawab, '
Indonesia mam,'. Dosen saya jawab lagi '
Why you wrote the japanesse way?'
Saya sudah takut. Tuhan apa yang harus saya jawab. Jujur, '
because I don't know about my country.'
'
Shame on you', nah gitu kata dosen saya. Dosen saya bilang 'Kamu harus malu dengan dirimu'. Makanya saya sadar dan saya janji sama Tuhan, Tuhan seandainya saya lulus nanti saya akan kembali dan melestarikan budaya dalam bidang kecantikan.
Dan itulah mulai pada 3 Januari tahun 1970. Jadi sampai sekarang hampir 50 tahun, tahun depan 50 tahun.
[Gambas:Video CNN]
Artinya bisnis baru dibangun setelah lulus dan kembali ke Indonesia? Ya setelah lulus. Saya pulang kembali karena harus pulang kan, suami saya selesai kuliahnya dan saya juga harus pulang. Nah di situ baru saya sadar kalau saya harus menepati janji untuk melestarikan budaya dan itu tidak mudah, karena saya cari buku-buku kecantikan, tata rias dari wayang wong, doger, itu tidak ada yang tertulis.
Semuanya ya ada, tapi tidak tertulis. Nah bagi saya hal itu susah sekali kan, maka itu saya pergi. Eyang saya kebetulan ahli jamu, beliau meninggal pada umur 107 tahun. Beliau mengantar saya ke dukun-dukun beranak, kalau dulu kan dukun-dukun sekarang bidan-bidan beranak.
Di sana di kampung-kampung, orang pada mengatakan aduh Martha tuh orang gila, pulang dari AS yang high tech pergi ke kampung-kampung ke dukun-dukun, dia mau kaya-lah inilah, duh nanti kamu jangan ke sana, nanti kamu disantet sama dia.
Ya tapi bagaimana ya, kalau tidak saya harus menulis dong, bagaimana bayinya, bagaimana harus minum jamu apa, minyaknya minyak apa, minyak telon supaya jangan kedinginan. Itu semua saya diajari. Lalu lihat bagaimana supaya tidak ada
stretch mark-nya, ya kan. Saya diajari semua dari ibu-ibu itu. Saya tulis semuanya.
Setelah belajar dengan beberapa dukun beranak langsung mendirikan usaha kecantikan?Mendirikan salon, salon saya 4x6 meter di garasi ayah saya. Ibu saya sudah meninggal jadi tinggal Ayah. Itu di Jl Kesuma Atmaja, Menteng. Jadi saya di situ saya lihat waduh kok tidak ada orang yang mau gitu ya, ya gitu dipromosikan mau disantet, jadi semua orang bilang jangan ke sana nanti disantet, waduh saya bingung sekali ya.
Lalu ayah saya bilang mulailah dari dirimu sendiri. Kamu memiliki mimpi yang besar, boleh. Tapi mulai kecil karena kami kan tidak punya uang dan start small dan cepat. Kalau biasanya saya mau tapi tidak jadi, sehingga tidak akan jadi. Jadi saya mulai dengan salon 4x6 meter dan dengan satu karyawati.
Itulah saya mulai. Tapi ya itu tidak laku. Nah, tapi kita tidak boleh putus asa ya. Semua harus kreasi, proaktif, jadi jangan terus sedih tidak laku karena kurang orang, kurang mewah. Jadi saya pikir, Saya tinggal di Jl Kesuma Atmaja, dekat dengan kedutaan. Jadi saya cari tukang Koran, saya bilang boleh tidak saya dibantu. Dia bilang 'boleh bu boleh bu'. Saya masukkan brosur saya.
Nah di situ baru mereka datang, pertama, duta besar Amerika. '
Martha, i'd like to come to you, I'm also Martha'. Saya bilang '
Okay mam'.
Ya sudah dia yang promosi ke mana-mana, jadi langganan saya semua orang asing karena pada saat itu orang Indonesia kan kurang bahasa Inggrisnya. Ya, 50 tahun yang lalu ya. Jadi kurang bahasa Inggrisnya. Pada datang ke saya, jadi dalam enam bulan saja saya sudah minta ke ayah saya. Saya bilang 'Pa, bagaimana kalau tinggal di garasi dan salonnya di rumah di dalam gitu loh'. Ayah saya 'Ya boleh saja silahkan'. Setelah itu semakin besar, semakin besar.
Bersambung ke halaman berikutnya "Langganan Istri Dubes"
Berarti kliennya adalah istri-istri duta besar? Kedutaan, ada Polandia, Nigeria, Inggris, Malaysia, jadi banyak sekali tapi semua dari kedutaan. Nah setelah itu, karena mereka ngomong-ngomong dan orang Indonesia-nya mulai datang itu Ibu Fatmawati, Ibu Adam Malik, lama-lama ya itu. Makin besar, makin besar, makin besar.
Dari rumah sampai memiliki kantor sendiri tentu membutuhkan dana yang besar. Bagaimana proses pendanaannya saat itu? Susah pinjam bank. Kami perjalanan jauh. Ini proses, bukan instan. Kalau instan salah. Saya cari jalan keluar bagaimana orang Indonesia itu menyukai produk Indonesia, karena tidak ada yang mau. Ya itulah mental orang Indonesia, tapi saya tidak boleh putus asa. Pada saat itu orang Jawa kebetulan senang sekali kalau kayak orang putri keraton. Nah saya melihat siapa ya yang cantik, saya ajak kerja sama.
Aduh akhirnya saya menemukan. Jadi ada seseorang yang seperti putri keraton yang cantik, saya ajak barangkali mau join venture. Oke, saya memperkenalkan diri dan kemudian saya tawarkan ini ada proyek kecantikan untuk menciptakan image memperkenalkan kecantikan di Indonesia dan dia bilang tidak mau, karena suaminya sudah pejabat.
Oh tidak apa-apa, tapi setelah beberapa minggu beliau cerita kepada suaminya. Oh suaminya bilang ini kesempatan yang bagus jadi istrinya harus mau. Datanglah dia bilang kalau ya mau joint venture.
Kebetulan background saya kan guru. Jadi kalau bisnisnya masih culun sekali. Mereka bilang nanti kami izin-izinnya. Saya waktu itu 'oh iya pak terima kasih'.
Setelah itu ternyata laris sekali. Semua orang ingin jadi putri keraton, dan di situ setelah satu tahun dia join dengan saya, Februari 1976 dan Maret 1977, dia bilang ‘saya mau berdiri sendiri'.
Nah ternyata semua (usaha kosmetik yang selama joint venture) itu atas nama beliau. Jadi, saya hanya gigit jari saja, saya tidak punya apa-apa lagi. Tapi Tuhan itu maha baik, setelah 16 tahun saya tidak punya anak, lahirnya anak itu pada tahun itu dan bulan yang hampir sama. Nah di situlah kebesaran Tuhan, dia adalah Wulan Maharani, kayak putri keraton, cantik.
Saya punya semangat kembali. Harus mulai kembali lagi dari nol. Semuanya berjalan dengan baik. Lalu teman saya kebetulan dari Kalbe Farma mau bekerja sama. Kami bekerja sama selama 22,5 tahun. Jadi, cara ilmiahnya hebat sekali, saya belajar. Lalu juga komersialnya manajemennya bagus sekali, sehingga bisnis kami juga berkembang begitu.
Tapi pada 1998 itu kan ekonomi Indonesia krisis hancur dan beliau bilang "Martha sudah kamu beli saja, saya mau pusatkan dalam bidang farmasi.” Oke, ya sudah jadi kami pisah dengan baik dan sampai sekarang kami tetap baik.
Yah itulah berkembang-berkembang. Setelah berkembang, bank-bank percaya pada kami. Dapat uang dapat pinjaman, ya itu terus kami lakukan sampai sekarang punya perusahaan distribusi. Pabrik kami ada satu, dua, tiga, empat pabrik dan distribusinya kemudian dari situ kami mempunyai sekolah dan salon, lalu produknya 10 produk kami ciptakan. Lalu pegawai kami sekarang dari satu menjadi 4.000 orang.
Jadi anak pertama Ibu yang menjadi penyemangat utama ketika Ibu ditinggalkan oleh rekan bisnis yang pertama?
Ya itu, setelah 16 tahun saya tidak punya anak, saya divonis oleh dokter bahwa saya tidak mungkin punya anak. Tapi tahu-tahu kok saya hamil begitu. Jadi itu memberikan semangat untuk saya, sebagai perempuan ya. Makanya saya berpikir harus menciptakan apa yang baru untuk menyekolahkan anak, karena suami saya profesor. Orangnya jujur sekali di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Aduh saya mau dikasih apa, suami saya mengatakan 'no no’. Saya bilang 'itu kan hoki saya, rezeki,'. Suami saya tetap 'no no, kembalikan.'
Kalau begitu saya berpikir apa bisa hidup nanti kalau punya anak. Aduh sangat-sangat jujur. Jadi kalau dapat Rp4 juta ya itu saja, apa bisa tidak melahirkan anak, sekolahkan anak, tidak bisa.
Jadi saya harus
chance my mindset untuk membantu suami saya untuk berkarya. Itu saja. Jadi semangatnya terus.
Sedikit mundur ke belakang, Ibu pindah ke AS karena mengikuti suami yang mendapatkan beasiswa?
Iya ikut suami. Saya kan dulu guru sekolah dasar (SD) di Theresia. Namun baru delapan bulan menikah, suami saya pintar sekali, cumlaude jadi suami saya dapat beasiswa untuk belajar di AS. Bayangkan baru delapan bulan, pengantin baru. Ini nanti bule-bule cantik bagaimana ya, saya hitam begini.
Tapi itulah kehidupan. Jadi kalau saling dukung mendukung, berkomitmen sebagai suami istri tidak perlu takut. Sampai sekarang juga tidak ada gangguan. Suami saya tuh senangnya hanya menulis, menulis, menulis. Bukunya itu istri kedua. Suami saya bilang buku itu istri kedua, jadi sudah cukup. Ribuan buku itu di lantai atas rumah. Tidak apa-apa, daripada istri beneran.
Selain sekolah, apa saja yang Ibu kerjakan?
Saya jadi babysitter. Jadi momong anak, karena ya itu kan harus proaktif. Jangan tunggu pola, tapi kejar pola. Itu pemikiran saya. Jadi waktu itu saya biasa kerja ya, terus tidak kerja saya susah. Jadi pagi-pagi saya sudah jalan dan saya lihat ibu-ibu kok gendong anak. Saya bilang '
Mam, where are you going'. Dia bilang '
To the babysitter'. Nah saat itu saya bilang itu bisa jadi kerjaan saya.
Tapi saat itu saya tidak bisa bilang '
I Will do it for you' karena itu mengambil pekerjaan orang. Jadi saya menggambar rumah Manado terus ada pohon kelapa nya. Terus ada mickey mouse nya karena Disney Land baru dibuka. Jadi saya mengiklankan diri saya sendiri. Tiba-tiba datang 13 orang.
Lalu diterima semua semua klien yang mau menitipkan anak?
Ya diterima semua, habisnya bagaimana. Terus ada satu anak namanya Bryan, dia bilang '
Don't worry mam, I will help you,'. Dia anak paling besar yang dititipkan ke saya dan dia mau bantu. Nah, nama anak saya ada Bryan sekarang.
Berapa penghasilan Ibu saat menjadi babysitter?
Suami saya dapat beasiswa Tahun 1960-an itu US$210. Tapi saya sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) momong anak itu bisa US$2 ribu sekian, kadang-kadang US$2.500 tapi bisa juga US$1.500 kalau semua lagi liburan karena mereka kan pergi. Jadi begitu. Saya sadar bahwa sebagai perempuan itu bisa tetap menghasilkan agar terampil, kalau tidak ada pendidikan, tidak tahu apa-apa, ya tidak bisa. Itu saja, sederhana saja. Perempuan itu luar biasa loh. Tetapi ya itu harus dapat dorongan, kalau suami bilang 'go', dorong, dorong.
Selain menjadi babysitter, apakah sempat bekerja di tempat lain? Saya kan belajar di AS kan dua tahun, nah dua tahun sebagai babysitter, dua tahun sebagai pegawai di salon. Saya melihat oh perbedaan kulit gitu. Kalau keras sedikit oh oh sakit, tipis, pink banget. Kalau Indonesia kan suka kurang keras-kurang keras karena tebal. Jadi saya punya pengalaman iklimnya beda dia membutuhkan moisturizer dan oil supaya jangan kering. Kalau di Indonesia kan tidak, kalau pakai oil kan jadi jerawatan banyak. Bekerja di salon ketika saya sudah selesai sekolah.
Apakah sempat diremehkan karena Ibu seorang perempuan saat mendirikan bisnis?
Tidak pernah karena suami mendukung dan ayah saya mendukung. Ayah saya sudah tahu karena kalau saya tidak mendukung suami saya nanti barangkali kalau punya anak nanti bagaimana membiayainya begitu, sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
Jadi itulah. Ayah saya bilang kalau mau sukses jangan banyak omong tapi mulailah dengan dirimu sendiri. Kamu mimpi mau bisa selangit tapi kamu harus mulai start small karena uang tidak ada. Jadi jangan mengeluh uanglah tidak ada, inilah tidak ada, semua tidak ada, ya tidak akan terjadi. You coba gitu. Saya coba dan saya berhasil.
Darimana Ibu belajar mengenai kepemimpinan?
Kalau itu jadi pertama, sekolah di Indonesia tuh salah kalau harus hafal. Jadi semua pembelajaran hafal-hafal. Kita semua harus menjadi orang yang kreatif, hafal boleh tapi apa selanjutnya, kreatif. Misalnya begitu. Jadi kreatif, proaktif penting. Kalau hafalan kan selesai, dapat angka bagus selesai tapi tidak kreatif.
Di AS saya belajar untuk kreatif. Saya diajari macam-macam teori, tapi di samping itu saya terapkan di salon. Jadi itu pengalaman saya oh begini oh begitu.
Bagaimana kehidupan Ibu saat kecil, apa memang sudah diajari untuk selalu mandiri dan menjadi wirausaha?
Terus terang saya harus cerita aib saya. Saya kan anak desa ya, saya lahir di Kebumen, dibesarkan di Gombong. Nah itu, keturunan saya itu Jawa, eyang saya semua menikahnya dengan orang Jawa. Jadi saya hitam. Kalau yang lain putih-putih, sipit-sipit. Pakai poni begitu, nah kalau saya kan hitam.
Jadi om saya bilang, kamu paling ujung. Duduk di ujung, tidak boleh di tengah. Ya sebagai anak ya, rasanya sakit gitu ya. Tapi ya tidak apa-apa.
Kedua, adik-adik saya itu kan pintar-pintar. Satu dokter, yang satu di jurusan akuntansi. Tiap kali kalau anak-anak pulang sekolah dapat rapor, dapat peringkat 1, peringkat 2, peringkat 3. Lah saya bilang kapan saya bisa membahagiakan orang tua saya. Jadi di situ saya adalah orang paling bodoh di antara keluarga.
Ibu saya luar biasa. Dia mengajar saya tentang kreativitas. Saya kan banyak kerajinan tangan itu saya senang sekali. Saya harus buat biji-bijian karena rumah saya 10 hektare (ha). Rumah saya banyak pohon macam-macam, jadi saya diajari membuat gelang. Warna macam-macam ada merah putih, hitam, nah itu dikombinasikan. Itu kreativitas.
Apa cita-cita Ibu sejak kecil?
Cita-cita jadi guru kan, karena kalau jadi guru kan kayaknya pintar. Tidak terlihat bodoh. Maka itu saya guru tapi setelah menikah dengan guru, saya baru sadar bahwa saya harus membantu suamiku. Jadi saya setiap kali bersyukur pada usia yang sudah tua 87 tahun suami saya, saya 82 tahun. Saya pergi ke dokter, sakit itu bayar sendiri. Tidak minta anak-anak, itu harus bersyukur.
Bagaimana cara Ibu menjaga kesehatan di usia yang sudah lanjut ini?
Saya ini suka makan, nah tetapi di samping suka makan saya juga suka jamu-jamuan. Jadi semua lemak pergi, karena saya minum jamu. Itu saya lakukan setiap hari. Jadi walaupun saya makan banyak atau pakai bahan macam-macam, minyak, gorengan itu kan 'nyemil' itu saya senang kali. Tapi saya kasih jamu untuk itu untuk netralisir.
Lalu saya juga ya sekarang karena kesehatan saya akhir-akhir ini terganggu ya, saya senang senam di salon dengan karyawan. Ayo saya undang semua, datangkan seorang dokter dari China untuk Tai Chi juga.