Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat bidang energi menilai pengembangan energi baru dan terbarukan (
EBT) pada era pemerintahan Presiden
Joko Widodo lebih lambat dibanding kinerja pemerintahan sebelumnya, ketika dipimpin Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (
SBY).
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebutkan pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 2010-2014 pembangkit energi terbarukan meningkat menjadi 1760 MegaWatt (MW). Sedangkan pada periode kepemimpinan Joko Widodo tahun 2014-2018 hanya meningkat sebesar 985 MW.
Estimasi hingga akhir 2019, pembangkit energi terbarukan hanya akan meningkat sekitar 400-450 MW. Dengan demikian, total kapasitas dari 2014 hingga 2019 diperkirakan sekitar 1300-1350 MW.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau dibilang lima tahun pak Jokowi perkembangan EBT lebih rendah dibanding SBY. Padahal waktu itu KEN (Kebijakan Energi Nasional) ada di akhir (pemerintahan) pak SBY," kata Fabby di Kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (19/8).
Sebagai informasi, KEN disusun sebagai pedoman untuk memberi arah pengelolaan energi guna mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi guna mendukung pembangunan nasional.
Pada era Jokowi, presiden bahkan menerbitkan Peraturan Presiden No 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Saat itu, pemerintah sudah memiliki KEN dan RUEN.
Namun, perkembangan EBT masih terbilang rendah. Fabby mengatakan RUEN belum secara utuh dijabarkan dalam kebijakan dan penataan energi nasional Indonesia.
Oleh karena itu, Fabby mendesak pemerintahan baru Joko Widodo dan Ma'ruf Amin untuk merevisi RUEN agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi ekonomi Indonesia.
"Dalam konteks tantangan risiko ekonomi global dan kebutuhan energi domestik yang terus meningkat, implementasi paradigma menjadi langkah strategis yang harus segera direalisasikan," ujar Fabby.
Dengan adanya Peraturan Menteri (permen) No 50 tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik membuat EBT menjadi tidak bankable atau tidak mampu memenuhi syarat perbankan.
Hal ini berpengaruh pada rencana bisnis seperti pada para investor Indonesia yang berpindah investasi ke negara lain salah satunya ke negara Vietnam.
Lebih lanjut, Fabby pun memberikan solusi diantaranya yaitu Presiden Jokowi harus fokus pada aksi strategis untuk mendorong investasi di sektor energi terbarukan.
"Dengan cara regulasi harus dilihat alokasi yang berimbang, tarif jual beli listrik yang ekonomis artinya ekonomis dihitung tingkat keuntungan yang wajar untuk si pengusaha jangan asumsi jadi gak yang membuat
project itu tidak
bankable," jelasnya.
Selanjutnya, mengoptimalkan APBN untuk menarik investasi swasta dengan menggunakan instrumen dana dukungan tunai infrastruktur atau
Viability Gap Fund (VGF) untuk mengatasi disparitas tarif listrik PLN dengan tarif yang ditawarkan oleh swasta.
Kemudian, Segera mengganti regulasi-regulasi yang menghambat investasi ET, seperti contoh Permen ESDM No 10 tahun 2017 dan 50 tahun 2017.
Terakhir memberikan insentif kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan daerah. Hal ini untuk mengembangkan energi terbarukan melalui
Performance Based Regulation (PBR) berdasarkan target pencapaian energi terbarukan.
"Berikan intensif pada daerah untuk mengembangkan energi terbarukan, misalnya lewat parameter kapasitas EBT sebagai basis perhitungan dana transfer daerah," pungkasnya.
[Gambas:Video CNN] (sas/lav)