Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat ekonomi memperkirakan pemindahan
ibu kota negara yang dilakukan Presiden
Jokowi dari
DKI Jakarta ke Kalimantan akan meningkatkan potensi krisis energi. Krisis energi tersebut khususnya di sektor minyak dan gas bumi (migas).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan proyeksi tersebut dibuat dengan beberapa alasan. Salah satunya, ia dasarkan pada peningkatan kebutuhan pasokan listrik di ibu kota baru.
Ia mengatakan saat ini kebutuhan listrik masih mengandalkan dari energi batu bara dan minyak. Meskipun demikian, belakangan ini produksi energi tersebut cenderung turun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk minyak misalnya, belakangan ini produksinya terus turun. Penurunan tercermin dari angka produksi minyak belakangan ini dan pelebaran defisit migas belakangan ini.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dari bulan Januari sampai Juli 2019 defisit migas mencapai US$ 4,924 miliar, sementara Januari sampai Juli 2018 defisit migas mencapai US$ 6,860 miliar.
"Pada 2015-2020 lifting minyak turun 11 persen," katanya Senin (26/8).
Presiden Jokowi
telah mengambil keputusan soal pemindahan ibu kota negara. Dalam pengumuman yang disampaikannya Senin (26/8) ia mengatakan ibu kota negara akan dipindahkan ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Kedua wilayah tersebut berada di Kalimantan Timur. Daerah tersebut dipilih dengan beberapa pertimbangan.
[Gambas:Video CNN]Pertama, karena minim bencana, baik banjir, gempa, tsunami, kebakaran hutan dan gunung berapi.
Kedua, lokasi geografis yang strategis.
Jokowi mengatakan dana yang dibutuhkan untuk pemindahan ibu kota tersebut mencapai Rp466 triliun. Tapi kebutuhan dana tersebut tidak akan dipenuhi pemerintah semuanya.
"Yang dari APBN nantinya hanya akan 19 persen," katanya.
Dengan kata lain, pemerintah hanya akan menggelontorkan dana APBN sebesar Rp88 triliun untuk pemindahan ibu kota.
(sas/agt)