Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo (
Jokowi) mengaku akan menggeser alokasi dana pembangunan ke
riset bila
infrastruktur rampung. Hal ini dilakukan mengingat masih tertinggalnya dana riset di RI dibandingkan negara-negara lain.
"Begitu infrastruktur selesai, tak geser anggaran infrastruktur masuk ke sini (riset). Kita harus mempersiapkan ini untuk masa depan bangsa," ujar Jokowi, Kamis (30/1).
Pun demikian, Jokowi menyelipkan pesan kepada Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro untuk mengkonsolidasikan seluruh anggaran riset untuk pengembangan riset. Sehingga, riset bisa mendukung program hilirisasi dan meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apalagi, Jokowi melanjutkan anggaran riset dari seluruh kementerian dan lembaga jika digabungkan mencapai Rp27 triliun.
"Jangan sampai riset hanya jadi laporan dan ditaruh di lemari. Rp27,1 triliun ini uang gede, kalau bisa dikonsolidasikan dan menghasilkan sesuatu," terang dia.
Selain konsolidasi anggaran riset, Jokowi meminta Bambang Brodjonegoro untuk menyusun agenda riset strategis nasional yang mencakup seluruh bidang, mulai dari energi, pangan, farmasi, pertahanan, hingga teknologi informasi.
Masih terkait riset, Jokowi juga meminta Bambang melakukan konsolidasi dari berbagai pihak. Ia mengimbau agar Bambang tidak hanya mengonsolidasikan 329 unit riset milik K/L, tetapi juga meningkatkan peran swasta.
"Kami bisa berikan insentif kepada swasta, bisa lewat super deduction tax. Apalagi saya lihat di Korea Selatan, periset itu bekerja di perusahaan swasta," ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Bambang mengatakan pendanaan riset di Indonesia terbilang rendah, yakni hanya 0,25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dari jumlah tersebut, sekitar 80 persen berasal dari anggaran pemerintah, sedangkan sisanya 20 persen dari pihak swasta.
Imbasnya, adopsi inovasi di Indonesia terbilang rendah. Hal ini terlihat dari skala Innovation Index, yakni 29,72 dari rentang 0-100. Ini menempatkan Indonesia di posisi ke 83 dari 129 negara.
"Ini disebabkan masih rendahnya belanja litbang (penelitian dan pengembangan) terhadap PDB, rendahnya jumlah paten, dan rendahnya publikasi sains tingkat global," tandasnya.
[Gambas:Video CNN] (ulf/bir)